Notes

Sahaja berkas rembulan juga taburan gemintang tumpah ruah menghiasi pekatnya sang mega. Menanggalkan kesan sepi yang meliputi atmosfer malam. Desau angin menyoja dengan ramah; berusaha melantakkan kabut kalut yang nampak dari air muka seorang dara bernama Takada Rin. Dia melirik ke samping. Karena tengah melungguhkan diri di puncak bukit, Rin disuguhkan dengan bentang akam bergelombang yang berselimut pepohonan pinus dan membentang. Semakin jauh menuruni taman, semakin memesona pula panorama lateral ini.
Poros sepasang maniknya nampak kelabu. Sedang bilah tubirnya bergetar hebat; mendecih kuat saban pesona alam yang tersaji justru tak jauh beda dari hinaan atas dirinya yang sendiri dan sepi. Benaknya kembali berlabuh pada putaran memori yang dikecap manis, namun menyayat hati hingga tak lagi rapi.
“Rin, can you see the moon now?”
Kembali, bariton seorang adam yang khas dan sangat menenangkan menyusupi kedua rungu sang dara. Setiap kata yang meluncur dari bialbialnya penaka mantra sakti bagi gejolak hati dara tersebut.
Sirahnya menengadah; meniti setiap benda langit yang gemerlap. Si gadis lantas melahirkan kurva timpang pada paras yang awam disebut seringai.
“Apakah semuanya harus berakhir seperti ini?”
Rin tak lagi dapat menguasai diri. Meski dilingkupi senyap, namun batinnya berkecamuk hebat. Saban kecapan ingatan manis akan sang teruna justru melesakkan hati sang gadis ke titik nadir.
“Maaf, Rin.”
Dua kata yang terus terngiang dalam benaknya. Penaka menjadi penanda bahwa perasaan yang ia miliki tak akan pernah sampai pada sang teruna.
“Kau … kenapa? Kau yang mengajarkanku bagaimana cara mengatasi sedihku.”
Soprannya tak luput dari rintih dan lara yang dikebumikan; nampak jelas bahwa dirinya tak lagi mampu meredam emosi sendu yang tak tertahankan.
“Dan kau akan bisa tanpaku.”
Mustahil, batin Rin menyahuti. Air matanya terkumpul, siap jatuh kapan saja ia mau. Sepasang pundaknya naik turun tak beraturan. Putaran memori yang memuakkan lantas memancing emosinya hingga bermuara pada kesedihan yang teramat.
“Kau harus bisa tanpaku karena aku telah menemukan bahagiaku, Rin.”
Jemari Rin mengepal kuat. Sebaris kalimat yang meluncur bebas tanpa adanya nada penyesalan yang tersurat maupun tersirat dari sang teruna jelas menghunus tajam. Tanpa perlu diperjelas, Rin paham betul bahwasanya sang teruna menginginkan ia untuk pergi dari kehidupan sang teruna. Untuk selama-lama-lamanya.
Segenap asa sang gadis menegapkan kembali posturnya. Saujana memandang, yang nampak hanya keputusasaan yang tak berujung. Tak pula berpangkal. Air mukanya nampak datar; tak tergores luka. Namun dadanya berguncang, batinnya bergemuruh. Sementara kristalan bening yang sedari tadi menumpuk meluruhkan diri dari sudut maniknya.
“Aku tak percaya kalau kau setega itu.” Soprannya yang bergetar kembali ia bumikan. Bermonolog agar setiap penghuni alam tahu akan kesakitan yang tengah ia kecap.
“Kenapa?! Kenapa harus aku?!” Vokal Rin meninggi, bergema mengisi heningnya malam kala itu.
Senyum pahit kembali menghiasi paras. Melambangkan torehan luka serta pedih yang ia coba redam; dan berujung pada kegagalan.