Notes

“Us”
written by Roses

0

gelap. seisi tempat ini begitu gelap. tak ada cahaya apapun, namun meski begitu, aku bisa mengendus bau udara segar dari celah jeruji besi yang ada pada tembok di belakangku. tubuhku terasa sakit, dan lemas, juga perih, dan menggigil akibat rasa dingin. tidak. udara itu tidak memberiku kelegaan. udara segar itu menyiksaku, karena itu mengingatkanku bahwa aku tak mampu memilikinya. memiliki kebebasan sebebas ia yang menari di dunia luarーseolah mengejek.

merasakan kemurkaan bangkit dari lubuk hatiku yang terdalam, tanpa sadar aku mengepalkan tangan dan menggerakkannya hanya untuk meringis karena luka yang diakibatkan oleh borgol yang tersemat pada kedua pergelangan tangan kini kembali membuka, dan mengalirkan darah segar ke lengan kurus serta dekil milikku. pada wajah yang kotor dan tertutupi oleh debu, kotoran, serta keringat ini, aku dapat merasakan aliran bening mengalir di antaranya. rupanya aku masih bisa menangis. menangisi keadaan diri sendiri yang mengenaskan; dengan tubuh yang tertutupi oleh banyaknya cambukan mengerikan, dan lebam, pun jejak-jejak darah.

nafasku terhela, mati-matian menarik kembali tangisan yang terasa hampa hanya untuk menatap jauh ke depan, ke jeruji besar yang menjadi pemisahku dengan dunia luar. aku termenung, betapa indahnya jika aku bisa merasakan kebebasan, dan menghirup udara dunia luar lagi, ketimbang harus tersiksa dengan berada di sini? apapun, bahkan meski aku harus mengorbankan nyawaku, aku rela, demi mendapatkan kebebasan itu lagi.

‘Benarkah?’

tentu saja benar. siapapun yang berada di tempat ini pasti akan mempertaruhkan segalanya demi bisa bebas, dan hidup layaknya manusia normal.

(suara kekehan terdengar, sebelum disusul oleh nada rendah, dan dalam)
‘Kalau begitu, saya akan mengabulkannya untukmu.’

cih, kamu mengatakannya seolah-olah hal tersebut mudah. melewati para pria bertubuh besar yang lebih berbahaya dari para jagal ayam itu akan menimbulkan masalah untukmu.

(kekehan lain terdengar)
‘Tidak. Tidak sama sekali. Tapi kebebasanmu itu harganya mahal. Kau yakin menginginkannya?’

aku menghela nafas lagi, aku pasti sudah gila karena berbicara sendiri dengan suara yang berada di dalam kepalaku. sebegitu inginkah aku bebas hingga aku kehilangan kewarasanku. kugelengkan kepalaku, dan mencoba mengusir halusinasi itu, namun ketika aku mendongakkan kepala, seorang pria dengan surai kelam panjangnya sudah berada di hadapanku. tingginya yang mungkin menyentuh seratus sembilan puluh lebih membuatnya sejajar dengan diriku yang diborgol beberapa senti dari permukaan tanah penjara ini. tubuhnya yang berisi dan tampak sehat serta berotot dibalut oleh jubah hitam berkerah bulu berwarna putih, sementara ia memakai baju dalam dari kulit dengan corak hitam-merah.

aku terbelalak, terlebih ketika sepasang netra merah miliknya yang berkilau bagai batu rubi kini menatap balik mataku dengan kilau paling terang di duniaーseolah ia telah menemukan apa yang ia cari.

“Kau siapa?” tanyaku, terbata.

suaranya yang bagai gemericik air, kini memecah keheningan, namun anehnya hanya aku yang mendengar dan mampu melihat sosoknya. tahanan lain yang berada di kanan dan kiriku tidak melihatnya sama sekali, bahkan mereka menatapku dengan tatapan seolah aku gila karena berbicara sendiri.

‘shhh,’ katanya, ‘jawablah di dalam kepalamu.’

aku mengerjap, dan mengangguk. tidak diragukan lagi, inilah bantuan yang kuharapkan sejak lima tahun lalu. sejak aku ditangkap karena dikira sebagai mata-mata sementara yang kulakukan hanyalah menolong orang. sinting bukan orang-orang di sini?

‘Apakah kamu menginginkan kebebasan itu?’

aku mengangguk. tidak perlu ditanya!

‘Aku akan memberimu kebebasan itu, namun ada harga yang harus dibayar.’

aku dapat merasakan mataku berbinar. 'katakan saja apa harganya!' pikirku bersemangat.

(ia tersenyum dengan manis)
‘Kamu, dirimu, tubuhmu, seluruh duniamu, setiap inchi ragamuーuntuk menjadi milikku.’

aku mengernyit, tapi aku adalah pria. apa mungkin jika seorang pria memiliki pria lain? mungkin yang dia maksud sebagai orang kepercayaan, tangan kanan atau semacamnya. kalau cuma semacam itu, akuーJules Vernando Klang dengan senang hati akan menerimanya.

'baik,' jawabku tanpa ragu, juga dengan bodohnya karena saat itu aku tidak tahu bahwa menjadi miliknya akan menuntunku pada jalan rumit yang berbatu serta melelahkan. pikirkan saja bagaimana mungkin seseorang mempercayai orang asing misterius yang menawarkan bantuan kalau bukan karena terjepit dan tidak sabar? naif, bukan?

aku sadar bahwa selama perjalanan itu aku menyesalinya, namun pada akhirnya aku justru bersyukur dan berharap bertemu dengannya lebih cepat. dan sepertinya aku memang gila karena semakin aku mengenalnya, justru akulah yang semakin menginginkannya.

itulah kenapa aku begitu mencintai ‘Kami’, dan kisah ini.