Notes

Andai terselip namanya diantara desahan itu, atau ia perlu lebih berusaha dalam membuat si taruna mengabulkan harapan? Sebab tampaknya masih ada yang malu-malu, ia yakin belum sepenuhnya suara itu terlepas; sebagian tertahan dalam tenggorokan, bukan? Khawatir apa? “Nak Laut, kamu ngomong apa?” Perihal ungkapan sebelumnya. Atau justru masih salah satu bagian dari rayuan yang lalu-lalu? Sulit dibedakan, yang pasti— jika memang hanya sebatas gurau, sakitnya bukan main. Sementara itu, permintaan terkabul. Masa iya menolak? pakai berbasa-basi pula disaat dapat dilakukannya sendiri. Tapi berhubung sekali lagi, ingin dirasanya menikmati sensasi lembut nan kenyal bibir merah muda Biru Laut. Geli, hangat, belum lagi lengket saat saliva saling bertukar. Kali ini tidak lagi lidah menjelajah masuk, melainkan lebih berfokus 'tuk mengulum bibir itu. Maaf saja bila gigitan kecil yang menyusul akan menciptakan sedikit rasanya nyeri, habis— ia gemas, barangkali akan tertinggal luka samar usai ciuman panas ini berakhir. Mustahil untuknya tidak menyadari penempatan tangan Laut saat ini, meski masih terbalut sempurna dengan celana kainnya, belum-belum sudah membuat sekujur bulu kuduk berdiri. “Mm.” Jilatan sebagai penutup, siapa tahu dapat mengurangi keperihan pada garis merah bibir bawah pemuda itu. Belum selesai, sih, masih ingin menjalar menuju dagu, rahang hingga berjumpa pada sisi leher bagian kanan Laut. Wajah ia tenggelamkan dalam disana, mendaratkan kecup demi kecup pada kulit mulus pucat kepemilikan sang pujaan hati. Sesekali mencuri hirupan, ingin ia menikmati aroma khas yang entah dari mana asalnya itu. Sabun? Shampo? atau justru sekedar parfum yang menyebar dari permukaan pakaian? “Harum.” Suaranya memelan mengingat telah cukup minim akan jarak indera pendengaran Laut disana. “Kalau udah begini, saya boleh minta sesuatu?”