Notes

Malam itu setelah makan malam keluarga, liam dipanggil oleh ayahnya ke ruang kerja. Ia bertanya-tanya apa yang hendak sang ayah bicarakan dengannya sampai harus ke ruang kerja. Perasaannya sangat tidak tenang ditambah ia sedang kehilangan sebuah benda yang tidak seharusnya keluarganya tahu.

"Pah.. Papah manggil liam?" Tanyanya ragu.

Pria paruh baya itu mengangguk pelan, liam tidak dapat membaca ekspresi dari sang ayah. Ia memasuki ruang kerja yang cukup besar dan dipenuhi buku-buku di sekitar dinding ruangan, dwinetranya menangkap sosok ibunda duduk termangu dengan tatapan kosong.

"Duduk, papah mau bicara" titah sang pemilik ruangan.

Liam segera duduk didepan meja kerja sang ayah, bersampingan dengan sang ibu yang masih membisu. Belum sempat ia membuka suara, beberapa foto sudah tergeletak diatas meja kerja menampilkan dua sosok taruna sedang tersenyum bahagia satu sama lain, sangat mesra hingga siapapun yang melihatnya akan berkata mereka adalah pasangan, namun sejenis.

"Jelaskan ke papah, siapa dia? sudah berapa lama kamu berhubungan sama dia?" Tanya ayah dengan suara yang parau, terlihat jelas ia sedang menahan amarahnya.

Lidah liam seketika kelu, sosok disebelahnya menahan tangis menghindari penghuni rumah mendengar tangisannya.

"JAWAB, LIAM!" kali ini emosi sang ayah sudah meluap, liam dapat melihat tangan sang ayah bergetar.

"Dia... Gibran, Pah. Liam ketemunya di lombok, tapi kami sudah ga ada hubungan apa-apa lagi, pah" Jelas liam dengan suara yang bergetar ketakutan.

Ayahnya memijat keningnya, sosok yang selama ini liam anggap sangat kuat kini sedang mengusap air matanya. Liam tidak pernah menyangka akan mengecewakan kedua orang tuanya seperti ini.

"Otak kamu disimpan dimana sih, liam? kamu ga mikirin keluarga kita? mau disimpan dimana muka papah punya anak homo, hah?"

Liam menunduk malu, semua perkataan ayahnya memang benar. Semua yang ia lakukan ini hanyalah menjadi aib bagi keluarganya, namun ia pun tak pernah memilih untuk dilahirkan seperti ini melainkan perasaan itu mengalir begitu saja tanpa bisa ia bendung.

Buntut dari masalah inilah yang mengakibatkan liam harus angkat kaki dari rumah dan berakhir tinggal di apartemen milik ibunya. Seiring berjalannya waktu perlahan hubungan liam dengan kedua orang tuanya pun mulai membaik, walaupun masih sedingin es setidaknya sang ayah sudah mulai membalas pesan singkat dari liam.