NotesWhat is notes.io?

Notes brand slogan

Notes - notes.io

Saat usianya tujuh tahun, Audrey teringat dirinya yang menangis sendirian di depan televisi di malam Halloween yang semestinya menyenangkan. Balutan kostum Pikachu membungkus tubuh mungilnya, sedikit kebesaran. Ia memberenggut kesal, bibirnya mengatup lucu memelototi layar televisi di depan matanya penuh kebencian. Seharusnya malam ini Audrey bisa keluar membawa kantung permen untuk mengitari perumahannya dan memintai manisan. Akan tetapi, dirinya yang mendadak saja flu menjadikan kedua orangtuanya melarang keras Audrey untuk beranjak dari gerumul selimutnya.

Audrey menggusak hidungnya yang meler karena pilek. Mengamati interior ruang tengahnya yang telah penuh dengan pernak-pernik Halloween. Dindingnya telah dilapisi wallpaper labu dan geradasi berwarna jingga, stiker siluet bangunan tinggi Eropa, beserta lampu-lampu mungil dan beberapa jack-o'lantern yang dipasang pada beberapa sudut ruangan. Audrey merengek sekali lagi. Meratapi malam Halloweennya yang menyedihkan.

Hingga suara nyaring dari bel rumahnya berbunyi. Audrey mengerjap terkejut. Teman-temannya sudah mengunjunginya beberapa saat lalu, lalu siapa? Dengan sedikit terhuyung, Audrey meraih satu toples berisi permen kaca dan cokelat berwarna-warni kemudian berlari ke ruang depan. Mengabaikan bagaimana mamanya berteriak pada Audrey untuk berhati-hati. Audrey menjinjit untuk meraih kenop pintu utama dan membukanya bersemangat.

"Halo, trick-or-treat!"

Kedua obsidian bulat Audrey mengerdip. Imajinatif, tapi ada silau yang membuat dirinya terpukau ketika menyaksikan lelaki di hadapannya tersenyum lebar. Lelaki itu mengenakan stel Ash lengkap dari topi hingga ransel mininya, sebelah tangannya mencengkeram Pokéball mainan dengan bangga. Jemari gemuk Audrey secara reflek memeluk toples permennya erat, mulutnya separuh terbuka.

"Ah, kau Pikachu?" suara lelaki itu melengking terkesan. "Aku Ash!" serunya ceria. "Namaku Peter, omong-omong. Apartemenku tiga blok dari sini. Kami baru saja pindah tiga hari lalu. Salam kenal, Pikachu!" cerocosnya kemudian.

Senyum di bibir Audrey mengembang. Begitu kontras dengan kedua netranya yang sembab dan memerah karena menangis sejak tadi. "Pika!" sahutnya dengan suara sengau yang kentara. Tangan mungil Audrey meraup permen-permen dalam toplesnya penuh, berusaha memberikan manisan sebanyak mnngkin ke kantung lelaki di hadapannya. Toh tidak ada lagi anak-anak yang akan mampir ke rumahnya malam ini.

"U-uwah, memang tidak apa-apa sebanyak ini?" lelaki itu—Peter, mendongakkan wajah dengan bola mata mahoni yang membelalak takjub. Sedikit takut-takut ketika Audrey memasukkan satu lagi genggaman penuh manisan ke dalam kantungnya.

"Tidak apa-apa," jawab Audrey dengan cengiran kelincinya. "Namaku Audrey-pika!"

Peter tersenyum senang. Jemarinya terulur untuk mengelus telinga Pikachu dari kostum Audrey dengan gemas. "Terima kasih, Pika-dey!" tukasnya girang. Audrey membalas dengan anggukan mantap dan decitan 'pika' sengau yang menggemaskan. "Pika-dey habis menangis?" Peter memincingkan matanya penasaran. Mengamati bola mata merah gadis mungil di depannya dan ingus yang mengalir dari lubang hidungnya. Wajah bersemu karena demam, pelupuk mata sayu, dan kedua pipinya yang berisi. Belum lagi kostum kedodoran dan mulutnya yang belepotan oleh rempah kukis. Lucunya, pikir Peter.

Malam itu, Peter berakhir duduk di teras rumah Audrey dan berbagi cerita dengannya hingga mengantuk. Membagi apel karamel yang berada di kantungnya kemudian menerima secangkir cokelat panas dengan lapisan whipped cream tebal dan biskuit jahe dari ibu Audrey. Audrey membuat Peter berjanji untuk menghabiskan Halloween selanjutnya bersama dengan mengenakan kostum Ashnya. Peter menggusak puncak kepala Audrey dan mereka melambaikan tangan ketika berpisah.

Sejak saat itu, Peter sering sekali mengunjungi rumah Audrey untuk sekedar menonton televisi bersama hingga mengajaknya ke luar untuk bermain. Audrey menikmati setiap kedatangan Peter dengan ceria; menyeretnya keliling perumahan berlagak seperti pemandu jalan dan mengenalkan Peter kepada teman-temannya.

Audrey paling menyukai bagian ketika Peter tak sengaja tertidur di kamarnya. Nyonya Osborn akan datang menjemput, kemudian Mamanya akan meminta pada Nyonya Osborn untuk membiarkan Peter bermalam saja di rumah mereka. Audrey sangat menyukai bagian ketika ia terbangun dari lelapnya, dan menemukan Peter masih terpekur nyenyak di sampingnya.

.

Mamanya pernah melarang Audrey untuk bermain di sekitar wilayah konstruksi real estate di dekat komplek perumahannya. Menakut-nakuti anaknya dengan ancaman akan memindahkan Audrey ke rumah neneknya di Busan apabila tidak menurut. Akan tetapi, delapan-tahun Audrey tak bisa menahan keinginannya untuk bermain petak umpet bersama teman-temannya di suatu siang. Audrey tertawa antusias, berniat ingin menjadi juara dan bersembunyi jauh sekali. Langit memudar lembayung ketika Audrey mulai merasa was-was karena tidak kunjung ada yang menemukannya. Audrey kecil keluar dari persembunyiannya dan mulai berteriak memanggil teman-temannya. Namun tidak ada sahutan. Hari semakin gelap dan Audrey berlari ketakutan. Mencoba mencari jalan keluar dari area konstruksi, namun tak menemukannya. Si delapan-tahun-Audrey mulai menangis.

Audrey meringkuk ketakutan di sela-sela drum besi yang penuh oleh aroma karat. Terlalu lelah menangis meraung-raung dan kini dirinya hanya bisa tersengguk. Bibirnya gemetar menyebut 'Mama', lalu 'Papa', kemudian 'Peter' dan 'Peter' dan 'Peter'.

"Audrey! Dee! Kau dimana?! Kau mendengarku?!"

Suara familiar yang memanggil namanya sontak menjadikan sekujur tubuh mungil Audrey yang menggigil, terhangatkan. Air matanya menetes deras, dan Audrey berlari sekuat tenaga untuk menghambur ke pelukan Peter. Tubuh Peter kurus; Audrey menerjangnya hingga mereka berdua ambruk. Audrey menangis sejadi-jadinya dalam dekapan lelaki yang lebih tua, dan Peter ikut menangis. Mengelus kepalanya berhati-hati sambil terus meminta maaf—'Maaf tidak bisa menemukanmu lebih cepat,' dan 'Maaf, pasti menakutkan sekali, ya,'. Kemudian melihat celana jins Peter yang sobek beserta luka berdarah di lututnya membuat tangis Audrey semakin pecah. Peter terus mencarinya sambil berlari, bahkan terjatuh. Audrey kecil meremas kaus Peter sekuat tenaga seolah melepaskannya akan membuat keduanya terpisah selamanya.

Audrey terus terisak dalam gendongan punggung Peter; mengeluh soal 'Mama pasti akan marah sekali,' dan 'Mama akan membuangku ke rumah nenek,'. Sehingga Peter akhirnya diam-diam menyelusupkan Audrey dari celah jendela, sementara dirinya masuk melalui pintu utama. Bola mata bulat Audrey membesar ketika Peter datang dengan langkah berjinjit, membawa buah-buahan di dekapannya.

"Aku akan menyembunyikanmu," raut cemberut Peter begitu serius. Kedua tangannya menarik selimut tebal ke atas kepala Audrey yang sedang menggigit buah apelnya. Mata sembab Audrey mengerdip beberapa kali. "Audrey, jangan ke rumah nenek," ujar Peter kecil bersungut-sungut. "Jangan ke rumah nenek," ulangnya sembari mengusap sudut matanya yang berair dengan kepal tangannya yang mungil.

Melihat sahabatnya menangis, tanpa sadar air mata Audrey ikut mengalir. Membiarkan apel hijau dari tangannya menggelundung dan kembali terisak. "Tidak mau ke rumah nenek," Audrey kecil merengek, wajah bulatnya mendongak belepotan air mata dan kunyahan apel yang belum selesai. "Peter—Dee tidak mau ke rumah nenek—" tangisnya semakin keras.

Mendengar suara berisik dari kamar puteranya, Nyonya Osborn mengintip dari celah jendela, penasaran. Tersenyum melihat dua sejoli mungil yang menangis di sudut ruangan. Tidak berniat merusak kedekatan Peter dan sahabatnya Audrey, Nyonya Osborn kemudian melenggang berpura-pura tidak tahu. Wanita itu lalu menelepon kediaman keluarga Foster dan berujar. "Ya ampun, seperti dugaanmu. Audrey di sini, jangan cemas," dan terkekeh kecil. "Mereka serius berpikir kau akan memindahkannya ke Busan, astaga."

Dan ketika keesokan harinya Nyonya Foster datang menjemput Audrey, Peter menyembunyikan yang lebih muda di bawah ranjangnya. Menjadi aktor yang baik dengan menggeleng dan mengarang cerita sedapatnya. Audrey memeluk boneka singa Peter sembari mengintip dari bawah ranjang. Dan ketika kepala Audrey membentur kusen dan secara reflek mengaduh kesakitan, di situlah drama menggemaskannya dimulai. Peter yang membentangkan tangannya sambil berteriak 'Jangan bawa Dee pergi!' dan Audrey yang bersembunyi di balik punggung Peter keras kepala. Akan tetapi, dua mangkuk sereal gandum dan sepasang gelas berisi susu cokelat hangat dengan cepat meredakan segalanya.

Dan Audrey tidak berakhir dipindahkan ke Busan, tentu saja.

.

"Tahan, ya,"

Peter meringis ketika Nyonya Osborn membubuhkan antiseptik pada luka basah di sikutnya. Kening Audrey mengerut, ikut meringis menyaksikan kawannya yang menahan perih. Dahi Peter bonyok dan berdarah, kedua sikunya sobek, begitu pula lutut dan sekujur kakinya. Audrey dapat melihat sudut mata Peter yang berair. Pasti sakit sekali.

"Siapa suruh memanjat pohon begitu? Kau itu tidak jago memanjat," Nyonya Osborn berujar dengan desah tipis. Menggelengkan kepalanya tak habis pikir pada sosok puteranya yang babak belur. Jemarinya telaten menambat luka Peter. "Malu, 'kan, dilihat Audrey menangis begitu,"

"Aku tidak menangis!" Peter buru-buru berjengit.

Nyonya Osborn tersenyum kecil, menggoda. "Matamu merah, Sayang," kemudian wanita itu menjepit hidung Peter sambil terkekeh. "Hidungmu juga merah. Mana jagoan mama yang katanya tidak cengeng?"

Dengan cemberut, Peter menepis jari ibunya. "Kubilang aku tidak menangis!"

Audrey menggigit bibir bawahnya getir. Taehyung terjatuh dari pohon ek di lapangan komplek perumahan mereka. Tergelincir dari batang yang licin sesaat setelah menggapai ujung layang-layang Audrey yang tersangkut di salah satu celah rantingnya. Kejadian itu terbesit secepat kerdipan mata. Tubuh kurus Peter yang mengambang di udara, kemudian menghantam bumi dengan suara debruk yang memekakkan.

Peter membuat Audrey berjanji untuk tidak mengatakan apapun soal mengambil layang-layang, dan Audrey menunduk ketika menghayati luapan perasaan bersalah yang membuncah dalam dadanya. Maka ketika Peter memeluk erat sekali bantalnya sembari menutupi wajahnya, menjerit kesakitan, dan menangis saat seseorang memijit ototnya yang terkilir; Audrey tetap percaya tatkala sahabatnya bersikeras bahwa dirinya tidak menangis.

"Berikan aku thunderstone,"

Audrey berucap tiba-tiba dengan helaan napas pendek. Mencebik sekilas. Peter yang semula tengah berbaring di atas ranjangnya (dengan kaki kanan di perban dan badan yang serasa akan remuk), mengangkat sebelah alis. Menurunkan Gameboy di genggamannya dan terkekeh.

"Pika-dey ingin berevolusi menjadi Rai-dee?" Taehyung bertanya dengan intonasi lembut. Suara musik 32-bit dari permainan Pokémon konsolnya menggema di sudut ruangan.

Audrey menopangkan pipinya dengan kedua tangan. "Kau sering sekali terluka, seharusnya aku menjadi lebih kuat," sahut Audrey, rautnya serius dan memberenggut. "Sejak tadi aku berpikir untuk berubah menjadi Pokémon Milktank agar bisa mengobati Ash setiap saat. Tapi aku tidak suka bentuk fisiknya," Audrey menghela napas, memiringkan wajahnya di hadapan Peter. "Karena itu, kupikir menjadi Raichu kedengarannya keren. Pasti Raichu bisa melindungi Ash kapan saja."

Jemari Peter bergerak untuk mengusap rambut di pelipis Audrey dengan ibu jarinya. Tergelak sengau. "Tapi Ash bilang, dia menyukai wujud Pikachu seperti apa adanya dia," jawabnya dengan senyuman simpul. "Ash memiliki thunderstone sepanjang petualangan mereka, tetapi ia tidak pernah sekalipun menggunakannya untuk Pikachu; meskipun Ash punya semilyar kesempatan untuk melakukannya dan membiarkan Pikachu berubah." Telapak tangan Peter turun untuk mengelus sebelah pipi gadis yang lebih muda dan berujar sekali lagi, "Ash bilang, tidak selalu perlu untuk menjadi seseorang yang lain untuk bisa melewati sebuah rintangan. Pikakook selalu bisa melindungi Ash—tanpa harus berubah menjadi orang lain."

Pernyataan terakhir Peter membuat Audrey bungkam. Bicara Peter membingungkan begitu juga teramat penuh makna untuk Audrey dapat sungguh-sungguh memahaminya. Karena itu, Audrey hanya mengangguk kecil. Perlahan memejamkan matanya, kemudian bersandar pada telapak tangan Peter. Merasakan setiap kelembutan dan kasih sayang nyata dari ujung-ujung jemari sahabatnya yang hangat dan menenangkan.

.

Beranjak SMP, Tuan Osborn membelikan Peter sepeda gunung. Keren sekali. Warnanya merah menyala dengan cetakan Syncros yang melintang di kerangkanya. Sadel tinggi kemudian grip meliuk yang terhubung dengan stangnya seperti sepeda-sepeda pendaki di televisi. Keren sekali ditunggangi Peter. Dan ketika Audrey berujar menginginkan sepeda juga, Peter cepat-cepat menggeleng dan tersenyum lebar.

"Tunggu aku di depan pagar rumahmu setiap pukul tujuh," tandasnya bersemangat. "Kujemput."

Audrey populer sekali di sekolah. Mendapatkan banyak cokelat dan biskuit lezat ketika valentine, rangkaian bunga dengan kelopak berwarna-warni yang indah, begitu juga amplop-amplop manis berwarna merah muda. Wajah menarik dan tutur kata halus, Audrey Foster adalah magnet pesona bagi semua orang.

Siang itu, Peter tengah berbaring di kamar Audrey. Membaca koleksi manga One Piece milik sahabatnya sembari mengunyah kasar sekotak cokelat dari salah satu bungkusan valentine Audrey. Peter mengernyitkan kening, "Yang ini beli di toko," Peter berujar skeptis. Melirik kearah Audrey yang sedang terkekeh sembari membaca satu per satu surat kalengnya. Wah, bahkan Peter dapat mencium wangi parfum dari lembaran surat yang Audrey pegang. Emejing (Amazing).

Peter memutuskan untuk mengambil bungkusan lain dan melahapnya rakus. "Bleh, yang ini juga rasa toko." Lalu bungkusan lainnya. "Ini juga rasa toko. Semuanya rasa toko."

"Peter, lihat!" obsidian besar Audrey membola dengan tawa sumringah. Mengabaikan komentar Peter mengenai cokelat-cokelat miliknya. "There is a bee looking for bunny, baby would you like to be my honey—" Audrey membacakan alfabet dalam amplop berwarna hitam dan memamerkannya pada Peter. Terkikik ceria. "Yang ini romantis sekali," cicit Audrey, kedua pipinya bersemu menggemaskan.

Peter merasakan wajahnya memanas.

"Out of my heart and into your soul, these feelings I have are beyond control—" Audrey tertawa kecil. "Audrey Foster, I promise you're the only one I adore—" Audrey meneruskan bacaannya dengan suara gemetar. "Tertanda, P." Kemudian ia mengguncang-guncang pundak Peter dengan mata berbinar. "Tae, kira-kira Mr.P ini siapa, ya? Dia manis sekali,"

Peter mendengus, berlagak acuh terus membaca manganya.

"Mana kutahu,"

"Ish," Audrey menggerutu keki. "Pantas orang-orang salah paham padamu. Kau galak, sih—HEI!" kedua netra Audrey membelalak dengan seruan frustasi. Matanya menyalang menyaksikan beberapa bungkusan yang telah terbuka. "Siapa bilang kau boleh makan yang couverture, jelek! Aku sengaja menyisihkannya—ah, dasar idiot! Pulang sana!"

Dengan menggerutu sebal, Audrey meraup cokelat-cokelat di atas kasurnya menjauh dari jangkauan sahabatnya. Peter mengerjapkan mata bingung sesaat, sebelum kemudian berubah menjadi kekehan mengesalkan yang membuat Audrey semakin melotot.

Peter menggelitiki bawah dagu Audrey penuh canda. Kebiasaan yang sering dilakukannya semenjak keduanya kecil dulu. "Dee kecil yang ngambek karena cokelat. Manisnya~" godanya jahil. Menemukan Audrey yang memberenggut sangat menggemaskan di matanya. Bibirnya yang terlipat maju dan tangannya yang terus mendorong dada Peter supaya tidak menyentuhnya. "Ini masih ada di mulutku, kalau kau mau."

Tak tahu malu, Peter membuka mulutnya, mengekspos sepetak cokelat basah yang separuh melumer di atas lidahnya. Sebelah alis Peter menukik usil. Hazelnya menangkap semburat di pipi Audrey dan keningnya yang mengerut, sebelum pukulan telak dari bantal menghantam tepat di wajahnya.

"Kau konyol dan super super idiot. Tahu, tidak?"

Audrey mencibir kesal dan Peter terpingkal.

Dan amplop hitam atas nama ‘P’ terus-menerus tergeletak di dalam loker Audrey nyaris setiap Senin pagi seusai kejadian valentine di hari itu.

.

Tingkat kedua sekolah menengah pertama, Peter merangsek menjadi anggota inti tim basket dan Audrey menjadi ketua anggota tim cheerleaders. Keduanya semakin tak terpisahkan. Rutin berlari bersama setiap pukul enam dinihari, kemudian pulang sekolah setiap matahari tenggelam seusai menekuni latihan masing-masing. Mendekati turnamen, keduanya menghabiskan waktu libur dan akhir pekan untuk ke lapangan, sesekali bertanding dengan tim basket SMP seberang dan Audrey setia menemaninya. Pada mulanya, Peter bahkan tidak tertarik dengan kegiatan ekstrakurikuler apapun. Akan tetapi, intensitasnya menemani Audrey latihan cheerleaders membuat semangatnya untuk bergabung tim basket semakin besar. Agar waktu bersama semakin banyak.

Tingkat ketiga sekolah menengah pertama, Peter terpilih menjadi kapten tim basket. Dan ketika Peter memberikan pidato singkatnya di hadapan semua anggota, Audrey menjadi orang yang menepukkan tangannya paling keras.

"Padahal baru kemarin masuk tim," Audrey terkekeh sembari menyikut rusuk kawannya penuh canda. "Tapi tiba-tiba jadi tim inti? Terus jadi kapten sekarang?!"

Peter tergelak ringan. Tangannya mengacak-acak surai kelam Audrey, mengabaikan bagaimana sahabatnya menampiknya kesal sambil menggerutu.

"Aku bukan apa-apa tanpa kamu. Bantu aku untuk seterusnya juga, oke?"

Wajah Peter sekilas tampak begitu teduh dan dewasa ketika mengucapkannya. Rambut pirang sebagai higlight yang baru disemirnya minggu kemarin tampak luar biasa memikat di bawah bias mentari sore dan naungan langit jingga. Sejak kapan Peter-nya yang cengeng menjadi begini mengayomi? Begitu ingin Audrey meledeki raut sok serius Peter. Sebab biasanya, pemuda itu selalu tampak bodoh dan menggelikan.

Akan tetapi, Audrey berakhir melempar mantap bola basket di tangannya.

"Tentu saja," sahutnya sembari mengangkat dagu. Tersenyum ketika melihat shooting nya menjebol ring basket dari posisi berdirinya. Suara 'wow' tipis dari raut takjub Peter membuat Audrey kembali berujar. "Kau itu payah tanpa aku, Pete."

.

Akhir semester pertama di tingkat tiga, Peter bersama pelatih memutuskan untuk mengadakan training camp semasa liburan. Merencanakan skedul dan porsi latihan setiap anggota, menjadwal beberapa pertandingan dengan tim basket daerah setempat. Desa Bukchon adalah wilayah asri dan hening dari hiruk pikuk kota. Sehingga Peter berharap anggotanya dapat memperoleh suasana baru serta pengetahuan alami dari lokasi tempatnya bermalam.

"Tidak boleh?" Alis Peter berjengit, suaranya mengambang oleh tawa tertahan.

"Mama paranoid saat mendengar kabar kak Namjoon, tetangga dua blok dari sini, mendaki gunung untuk ekstrakurikuler pecinta alamnya, dan berakhir mematahkan kakinya," Audrey mendengus malas. Ia meminum rakus cairan kopi dari gelasnya dalam sekali tegak, meremas dan melempar remukan paper glassnya ke tempat sampah di sudut ruangan dengan ekspresi kesal. Ia menghembuskan napas kasar. "Kau tahu mamaku,"

"Aku tahu," Peter mengangguk sambil terkekeh. "Aku mampir ke rumahmu setelah ini."

Begitu Peter mendatangi rumah Audrey dan mengucapkan permisi, pemuda itu menghampiri Nyonya Foster yang tengah menjemur pakaian. Audrey mengernyit heran; ingin mengikutinya, tetapi Peter memberikan gestur supaya Audrey berdiam di tempatnya saja. Maka Audrey terus mengamatinya dari kejauhan. Menyaksikan Peter yang dengan sigap ikut mengambili satu per satu fabrik dari ember ibunya dan membantunya menjemur. Raut melembut ibunya ketika berbicara dengan Peter sembari mengerjakan aktivitasnya, wajah dewasa Peter saat berucap kepada ibunya. Keduanya yang tertawa kecil, juga keduanya yang mengobrol dengan begitu akrab.

(Bahkan Audrey nyaris curiga jika jangan-jangan anak Mamanya itu Peter, bukan dirinya).

Dan ajaib.

"Boleh?!" Audrey membeo dengan mata menyalang tak percaya. "Bagaimana kau melakukannya? Bahkan—bahkan aku menghabiskan tiga hari dua malam untuk merengek meminta izin pada Mama!"

Peter hanya tergelak kecil. Kerlingan dalam sudut matanya penuh makna.

"Kubilang aku tahu ibumu, Audrey."

Kemudian Audrey tak tahu apa. Tetapi setiap kali dirinya pamit kepada kedua orang tuanya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan sekolah ekstrim, apapun itu, ibunya selalu berakhir dengan kata-kata ;

"Peter juga ikut, 'kan?" atau "Buat mama tenang dengan membawa Peter bersamamu juga, Sayang."

Selalu. Kemanapun. Entah kenapa.

.

Sekolah Menengah Atas, Audrey dan Peter berakhir bersekolah pada dua akademi yang berbeda.

Audrey diterima di sekolah negeri bergengsi impian keduanya, sementara Peter mendaftar di salah satu SMA swasta yang tak jauh dari komplek perumahannya. Audrey menghabiskan sorenya dengan mengomeli Peter yang tak pernah serius belajar, sementara pemuda bersurai hitam itu hanya menunjukkan cengiran tanpa dosanya. Sesungguhnya, keduanya sama-sama membenci konsep mengenai jalur edukasi yang berbeda, namun keduanya tahu menyesalinya adalah perbuatan sia-sia. Sehingga malam itu, Peter berjanji untuk tetap menghampiri rumah Audrey tiap pukul tujuh dan memboncenginya ke sekolah. Setiap hari. Walau kini arah yang dituju keduanya telah berbeda.

Hari pertama masa orientasi SMA, Audrey menyaksikan rambut sahabatnya yang kini memulas warna ungu pucat yang maskulin dari posisi tegaknya ketika membonceng. Aroma parfum elegan yang menyeruak ke pernapasannya dan wangi sampo Peter yang menyesakkan. Audrey tidak bisa mengingat semenjak kapan Peter beraroma begitu pria.

.

"Dia itu pacarmu atau apa?"

Fatimuk Ackerman bertanya lugas kepada Audrey. Handuk menyampir di lehernya, keringat membasahi sekujur tubuhnya sehabis olahraga. Fatimuk menyugar rambut panjang oranyenya dengan kasual. Menunggu jawaban Audrey.

"Bukan," sahut Audrey singkat, separuh mendengus.

"Menunggumu di depan gerbang setiap hari sampai tertidur, wah, romantis," timpal Fatimuk dengan tawa mengambang. "Anak-anak sering membicarakan dia. Rambut ungunya norak, omong-omong. Sekolah dimana, sih, supir sepedamu itu."

Audrey menggeritkan giginya, jemarinya meremas tasnya hingga memutih. Ia kemudian menarik napas dan menghembuskannya kasar. "Fat-timuk," ungkapnya lirih. "Jika tak ada hal penting lain yang ingin kau katakan, aku pulang."

Alis Fatimuk menukik sebelah. "Hei, jangan marah. Aku hanya menyampaikan apa kata orang-orang, bukan pendapat pribadiku," sangkalnya sembari bangkit dari posisi beristirahatnya. Buru-buru menjejeri langkah cepat Audrey meninggalkan lapangan indoor sekolahnya. "Pendapat pribadiku adalah, kau lebih baik menumpang mobilku saja setiap hari. Kasihan si rambut ungu—jarak dari sekolahnya ke akademi kita nyaris tiga kilo. Dia naik sepeda, Dey,"

Tak mempedulikan ucapan Fatimuk, Audrey terus melangkah dengan kecepatan yang sama.

"Serius, deh," Fatimuk berkata setengah terengah. "Kau itu kapten tim," tandasnya berusaha meyakinkan. "Kita sekelas, jadwal latihan kita sama, jalur pulang kita searah. Aku hanya ingin membantumu, Audrey—dan temanmu. Kau tidak lihat setiap kali sampai di depan gerbang, yang dilakukannya pertama kali adalah mencari sandaran untuk terlelap? Katakan padaku, dia pasti atlet basket, 'kan? Coba pikirkan skedul latihannya sendiri di sekolahnya,"

Ungkapan Fatimuk seolah memberikan tamparan pada wajah Audrey yang selama ini tertidur. Langkahnya terhenti ketika Fatimuk mengakhiri bicaranya dengan penuh kepedulian.
.

"Apa-apaan,"

Itu adalah ucapan pertama yang tumpah dari suara Peter ketika Audrey memintanya untuk berhenti mengantar jemputnya ke sekolah. Masih di atas sepeda, dengan kedua tangan Audrey yang bertumpu pada bahu kokoh sahabatnya yang terasa semakin berotot setiap harinya.

"Maksudku adalah," Audrey menghela napas panjang. "Tiga kilo ke sekolahku dua kali sehari itu tidak masuk akal, Peter," jelasnya halus.

Pemuda bersurai ungu itu mendecak terganggu. "Bagian mananya?"

"Semuanya."

"Aku tidak mengerti," Peter menyela cepat. Telapak tangannya mencengkeram karet handlenya kuat-kuat. "Kita tidak pernah mempermasalahkan ini sebelumnya. Aku tidak merasa keberatan, dan kau juga tidak pernah protes. Kenapa, Audrey, apa yang berbeda? Apa gurumu mulai mengasingkanmu karena bergaul dengan siswa urakan dari SMA seberang sepertiku?" tanyanya gelisah. Kening Peter mengerut kentara, begitu juga nada cemasnya yang tak sedikitpun ditutup-tutupi.

"Tidak—ya Tuhan," mata Audrey setengah membulat, menahan tawa gelinya. "Aku ingin berhenti merepotkanmu. Kau punya hidup sekolahmu sendiri, aku juga sama. Aku ingin bergaul lebih banyak dengan teman-teman SMAku juga. Ikut makan bersama seusai latihan dengan rekan satu tim, mampir ke toko buku untuk membeli komik, ramai-ramai ke arcade sampai sore—yah, macam-macam."

Kemudian tak ada satupun dari keduanya yang memecahkan hening hingga Peter mengerem sepedanya tepat di depan gerbang rumah Audrey dan membiarkan sahabatnya turun. Peter tak berujar apapun, terus terdiam dan bersiap untuk kembali mengayuh sepedanya tanpa kata.

"Peter," panggilan Audrey menjadikan Peter sekali lagi mengerem sepedanya, berhenti tetapi tidak menoleh. "Besok pukul tujuh—"

"—tidak perlu kemari."

Audrey samar-samar dapat melihat rahang Peter yang mengetat, kemudian gerit tipis dari gerahamnya yang bergesekan. Sebelum pemuda tinggi itu membuang wajahnya dan menjawab ringkas.

"Baik,"

Lalu pergi begitu saja.

.

Tingkat dua sekolah menengah atas, kedua orang tua Peter bercerai. Tidak ada angin, tidak ada hujan. Tiba-tiba saja, ayahnya mengecup keningnya saat bangun tidur, kemudian mengajaknya membolos sekolah. Peter tak mengerti apa, sebab walaupun ia bertanya, sang ayah hanya akan tersenyum penuh makna. Keduanya menghabiskan hari penuh dengan tawa. Peter mencintai ayahnya dan menghormatinya sebagai pahlawan terhebatnya. Maka ketika siang yang cerah itu sang ayah mengajaknya berlatih menyetir, menunggangi kuda dan bermain basket berdua di hamparan stepa yang luas—Peter hanya menikmatinya berusaha menampik segenap prasangka.

Akan tetapi, ketika malam itu Tuan Osborn menurunkannya di depan gerbang rumah, sekali lagi mengecup keningnya dan membelai rambutnya penuh kasih sayang; Peter sadar apabila semua ini tidak benar. Peter menggamit kaus sang ayah dan mengerutkan kening gelisah.

"Pa," Peter berujar penuh tekanan. "Ada apa kau sebenarnya?"

Maka malam itu, Tuan Osborn menarik Peter ke dalam dekapannya. Peter dapat merasakan lengan ayahnya yang gemetar saat memeluknya, menjadikan Peter semakin resah tak menentu. Nalarnya kembali memberontak. "Pa—"

"—jagoanku," Tuan Osborn berbisik sambil tersenyum, perlahan melepaskan dekapan menyesakkannya. Pria itu tersenyum lebar sekali. Meraih visor topi NBA Boston yang dikenakan Peter, lalu memutarnya ke belakang. "Kau itu nakal sekali. Sulit sekali dibangunkan untuk sekolah, tapi begitu diajak bolos, matamu langsung terbuka selebar pingpong," Peter hanya merespon dengan cengiran lebar. Merasakan tepukan telapak tangan sang ayah di puncak kepalanya yang terbalut topi. "Benar-benar anak Papa."

Peter terdiam, mengamati lekukan senyum ayahnya entah mengapa begitu menyesakkan.

"Kau tahu Papa selalu bangga padamu," Tuan Osborn kembali berujar dengan intonasinya yang dewasa dan penyayang. "Aku sering marah padamu karena tidak bisa meraih nilai yang bagus. Tapi kau tahu aku akan selalu duduk di baris terdepan untuk melihatmu menghajar keranjang lawan," Pria itu menghembuskan napas gemetar. "Papa dan Mama menyayangimu, Peter. Tekuni apa yang kau suka, jangan dengarkan olokan orang lain. Aku selalu mendukungmu, walau kau tak melihatnya."

Ucapan ayahnya membuat napas Peter tercekat. Entah kenapa, air mata di balik pelupuk matanya terasa menggenang. "Papa, serius, kau membuatku takut," Peter mendesah lesu. "Sudah malam, kau mau kemana lagi?"

"Mengisi bensin," Tuan Osborn menyahut dengan cepat, masih mengukirkan senyum lebar yang sama. "Besok pagi-pagi sekali, kita akan main lagi. Makanya malam ini bensinnya harus penuh."

Kemudian saat Peter turun dari mobil, berdiri di ambang gerbang, sang ayah membuka jendela lalu melambaikan tangannya. Peter hanya terkekeh geli, menaikkan sebelah alis. "Apaan, sih," tukasnya memberenggut. "Sudah sana isi bensin."

Tuan Osborn tersenyum dari celah jendela. "Tidur yang nyenyak, jagoan Papa" ada nada sendu dalam bagaimana suara pria itu semakin melemah di ujung kalimat. "—jaga Mamamu baik-baik."

Dan Papanya tak pernah kembali lagi. Menyadarkan kepada Peter apabila hari yang berlalu begitu menyenangkan adalah hari terakhirnya untuk dapat menjumpai ayah tercintanya. Peter hanya terpekur dengan kepala berkunang-kunang saat menemukan surat cerai yang tergeletak di kamar orangtuanya. Tak satupun menumpahkan aksara bahkan ketika ibunya mengusap pundaknya berusaha membuat Peter mengerti.

Sore itu, Audrey mengetuk pintu kamarnya dan Peter membukakan sambil tersenyum lebar. "Hei, apa kau datang untuk mengambil manga yang kupinjam? Tunggu sebentar."

Audrey sudah membuka mulutnya untuk menyahut, akan tetapi Peter sudah beranjak dan menyibukkan diri mencari komik dalam tumpukan meja belajarnya. Bergumam 'dimana aku menaruhnya' dan tertawa 'astaga, bagaimana bisa tidak ada' dengan suaranya yang hambar. Audrey menggigit bibir bawahnya kelu. Berjalan mendekat dan menyentak pergelangan tangan Peter supaya menghadap ke arahnya.

"Aku datang untuk bertanya apakah kau baik-baik saja," ujarnya dengan raut penuh kepedulian. Menelisik satu per satu bola mata sahabatnya dengan hati-hati. "Peter, apa kau baik-baik saja?"

Sepasang hazel kembar Peter membulat, berkilat kentara membendung air mata. Namun pemuda itu cepat mengalihkan pandangannya dan mendengus. "Bodoh," jawabnya tanpa menatap wajah sahabatnya. "Tentu saja aku baik-baik saja."

Akan tetapi, Audrey cepat meraih sisi kepala Peter dengan lembut. Meraihnya dan menggusakkan pipinya ke puncak kepala kawannya begitu halus seolah takut Peter akan pecah. Audrey sekali lagi menghela napas gemetar. Kemudian berujar lirih. "Kau yang bodoh," lalu mengusap helai demi helai rambut Peter, menenangkan dan penuh kehangatan. "—aku tahu kau tidak baik-baik saja."

Papa adalah tauladan tempat Peter senantiasa bercermin dan ia tak pernah sekalipun menyangka pria yang telah mendampinginya menjadi dewasa harus pergi meninggalkannya. Alasan orang dewasa, Mamanya bilang, ini untuk kebaikan kita semua. Tetapi Peter tak mengerti. Peter tak ingin mengerti. Seharian penuh Peter telah berlagak tegar dan berpikir jika semua ini tidak semenyedihkan kedengarannya. Peter telah bertekad bahwa ia akan menjadi kuat—akan tetapi ini adalah Audrey. Sahabatnya yang memahami seluk beluk kehidupan dan tabiatnya luar dalam. Sahabat yang menjadi tempat Peter bercerita ketika suatu hal istimewa terjadi padanya. Sahabat yang selalu ingin Peter jadikan orang pertama yang mendengarkan kisah mengenai harinya yang sial.

Peter bisa saja berlagak tangguh di hadapan semua orang; Mamanya, bibi tetangga sebelah, kawan sejawatnya—siapapun. Tapi tidak dengan Audrey.

Karena itu, Peter membiarkan dirinya runtuh dalam dekapan kawannya. Air matanya tumpah tanpa suara membasahi kemeja Audrey, kemudian merasakan setiap belaian penuh kehati-hatian sahabatnya. Suara Audrey yang berbisik 'tidak apa-apa, Pete, tidak apa-apa' menjadi hal terakhir yang didengarnya sebelum Peter berakhir terisak lepas tanpa pertahanan.

.

Audrey semakin beranjak dewasa. Dahulu gadis itu begitu pemalu dan sukar bergaul. Menempelinya melampaui perangko di sekolah dasar dan marah ketika Peter berteman dengan orang lain. Akan tetapi, kini Audrey telah cerdas berbicara, pandai bertingkah loyal, dan pandai mencari teman. Sehingga setiap kali Peter telah berlari hendak membantu Audrey meraih kopernya yang diletakkan di lemari yang terlalu tinggi, Audrey hanya terkekeh dan menggeleng. Mengatakan bahwa 'aku bisa sendiri'. Kemudian ketika keduanya mendapati seekor anak kucing yang terjebak di ranting pohon ek, Audrey segera menghalangi Peter. Mengatakan bahwa 'aku saja, kau tidak pandai memanjat'. Bahkan ketika keduanya mengikuti kegiatan bakti sosial dan Peter hanya dapat menatap Audrey yang melakukan semua sendiri tanpa meminta bantuan Peter sedikitpun, Peter terpasung tanpa kata. Menyaksikan Audrey yang tersenyum, mengatakan bahwa 'aku bisa melakukan semuanya tanpa bantuanmu', dan Audrey tak tahu mengapa hatinya terasa begitu sakit.

Maka tak ada lagi Peter Stevan Osborn yang melindungi Audrey, membantu dan menolongnya untuk setiap hal remeh—karena Audrey tak lagi membutuhkannya. Audrey bisa melakukan segalanya seorang diri, dan wanita itu memiliki begitu banyak orang yang memuja dan mencintainya. Peter tak lebih dari satu keping di antara milyaran bongkahan fragmen dari kisah kehidupan Audrey yang utuh. Kecil—sepele.

Kemudian Peter merasa luar biasa konyol karena berharap seperti orang bodoh supaya segalanya tak pernah berubah.

Sehingga ketika senja itu Audrey tersenyum di sisinya, bola mata pekat indahnya yang menerawang ke ufuk barat—Peter menemukan seluruh alfabetnya tercekat di kerongkongannya tak terucap.

"Kau tahu," semburat merah di kedua pipi Audrey menjadikan Peter teramat iri kepada siapa saja yang mampu membuat sahabatnya bersemu. "Mr.P akhirnya menunjukkan identitasnya padaku dan kami bertemu—dia keren sekali."

Kedua netra Peter membesar. Bibirnya pucat separuh terbuka, dan kerongkangannya terasa begitu kering. Kepalanya mengosong kemudian—"A-apa?" Peter menggeleng kecil dengan kening mengerut gelisah. "—kau bilang apa?"

Jemari Peter meremas langkan besi di hadapannya dengan gemetar. Kengerian merasuki akal sehatnya ketika Audrey hanya terkekeh dan kembali berujar.

"Mr.P keren sekali, aku akan mengenalkannya padamu."

Taehyung dapat merasakan buminya berhenti berotasi. Seluruh sistem dalam nalarnya enggan berekasi; penuh oleh pembangkangan dan ketidakpercayaan. "T-tidak mungkin, Mr.P itu—"

Aku.

Pandangan Peter nyaris buram ketika menangkap wajah tersenyum Audrey yang menukikkan sebelah alis. "Hm?"

Bibir Peter yang menggigil tak menyangka dengan sorot terlukanya hanya bergerak tanpa suara. Mengamati lekat-lekat obsidian mengkilap Audrey satu demi satu yang tak memantulkan secuil apapun kecuali kebahagiaan. Pangkal tangannya terasa perih sebab kukunya mencengkeram kepalnya terlampau kuat. Peter merasakan napasnya terengah, logikanya mati. Hatinya terus memberontak, menjerit bahwa—bukan dia, Audrey, Mr.P itu aku—Mr.P itu aku—akan tetapi, pengakuan itu tak pernah tumpah dari pita suaranya.

Gema dari sang ayah ketika menitipkan pesan untuk menjaga ibunya terngiang tanpa ampun memenuhi isi kepala Peter Gaung dari bisikan Audrey setiap kali wanita itu berkata bahwa ia bisa melakukan segalanya seorang diri terus berputar merasuki otaknya. Cinta itu omong kosong—jika betul cinta adalah sihir kebahagiaan yang Tuhan kirim untuk sebuah ikatan suci yang abadi, mengapa ayah dan ibunya harus berpisah? Peter berkembang memahami cinta sebagai sekerat dusta—kebohongan dan janji kosong tak bermakna. Menyaksikan rumah tangga yang bobrok tak bersisa menjadikan Peter begitu takut untuk percaya. Tak hanya sekedar takut sahabatnya akan justru membencinya—namun untuk mempercayai esensi dari sebuah cintapun Peter terlalu pengecut. Hingga pada akhirnya, Peter menengadahkan wajahnya. Jemarinya yang gemetar membelai sebelah pipi Audrey dan menatapnya penuh kasih sayang.

"Syukurlah," Peter berbisik mati-matian. "—kenalkan padaku lain kali."

Apabila memang ada seseorang yang mengaku sebagai Mr.P dan nyatanya memiliki kadar cinta yang setara dengan besar kasihnya, apabila memang ada seseorang yang lebih mampu menjaga dan melindungi Audrey melebihi dirinya, apabila memang ada seseorang yang dibutuhkan Audrey melebihi dirinya, dan apabila memang ada seseorang yang lebih pantas darinya, jauh lebih baik darinya, dan mampu mengajarkan kepada Audrey apa itu kebahagiaan—maka Peter tak akan berkelit.

Audrey bisa melakukan segalanya seorang diri tanpa dirinya.

Bahkan untuk menjadi bahagia.

.

.

Akhir semester di tingkat dua, Peter dan Audrey sungguh-sungguh bertemu di atas lapangan karena kompetisi basket tingkat SMA antar sekolah mereka berdua. Saat pemanasan, Peter berlari dan melompat lincah sekali untuk memberikan shooting dari posisi 3-point ke ring basket tim sekolah Audrey. Sorak sorai seketika membahana dan Audrey menghampiri Peter sambil tertawa.

"Astaga, penyakit capermu, Peter," Audrey tergelak sembari menyambut uluran tangan Peter. "Bisa kutebak, kau kaptennya, 'kan?."

Peter menunjukkan cengiran lebarnya. "Hanya karena timku tak sehebat tim sekolahmu, Audrey," ujarnya separuh tersengal. "Tapi kami tidak akan kalah."

Hening ketika Audrey terpaku mengamati helai rambut sahabatnya yang kini berwarna merah menyala. Poni panjangnya yang disibak ke belakang dengan headband hitam disimpul hingga punggung kepalanya. Berantakan, tetapi luar biasa maskulin. Apapun soal Peter Osborn selalu maskulin. Sebab hanya Peter yang mampu membuat segala jenis pakaian tampak gagah dan keren ketika dikenakannya. Bahkan leher jenjang hingga tulang selangkanya yang membentuk jelas karena postur tubuh Peter yang berisi, otot-otot samar pada permukaan perutnya yang tan tatkala Peter dengan kurang ajar mengelap wajah dengan kaus basketnya.

"Kak Peter! Pelatih memanggilmu!"

Peter meringis singkat, kemudian beralih untuk menggusak puncak kepala Audrey sambil tertawa kecil. "Kalau aku menang kau harus mengabulkan apapun permintaanku," Peter berujar dengan seulas senyuman jahil. "Deal?" sebelum Audrey sempat berpikir, Peter telah menggerakkan kepala Audrey turun dengan tangannya. Menggesturkan anggukan dan sekali lagi terkekeh. "Deal."

Kemudian dalam babak pertama, Audrey menyadari sesuatu. Peter tampak aneh, permainannya sempurna. Audrey tahu persis jika Peter andal dalam soal forward saja. Tapi sekarang sahabatnya mampu menembus double-team dari anggotanya, sebenarnya tim Peter tidak bisa dibilang tangguh dibandingkan tim basket SMA Audrey yang selalu menjuarai nasional tanpa cacat. Peter tidak mudah dikelabui dengan crossover lawannya. Tidak salah lagi, Peter telah meningkat jauh. Ia dapat melakukan kalkulasi ketika melakukan jump shoot, menerima assist dengan cakap, kemudian mampu melakukan rebound setiap kali ring basket berada tepat di dalam jangkauannya. Semua ini sungguh luar biasa. Audrey tak bisa menahan senyum nya saat melihat sahabatnya sendiri telah berkembang pesat tanpa dirinya selama ini. Ada rasa nyeri di hatinya karna tidak bisa selalu melihat peruahan pada Peter yang kini gagah berdiri dihadapannya

"Hei, aku tidak tahu kau ternyata kapten tim basket Akademi Hanshik,"

Sepuluh menit istirahat seusai babak ketiga, Peter menemukan seorang pemuda jangkung dengan jersey tim basket SMA Audrey ketika tengah membasuh wajahnya di depan wastafel. "Permainanmu luar biasa. Kau hanya masuk pada tim yang salah." Pemuda itu mengulurkan tangannya untuk mengajak bersalaman, "Berno Ackerman."

"Peter Osborn, terima kasih," balas Peter, mencoba ikut bersikap ramah.

"Audrey tidak pernah bercerita soal kau—tapi semua orang di timmu mengenal Audrey dengan sangat baik. Tadi aku sempat mengobrol dengan beberapa temanmu begitu turun dari bus," Berno menghadapkan tubuhnya ke depan cermin, kemudian menyalakan keran dan mencuci kedua tangannya. "Kau yang dulu pernah menjemput Audrey dengan sepeda di awal tahun, 'kan? Serius, Audrey bahkan tak pernah memberitahuku siapa namamu." Berno berujar separuh bergurau, tertawa kecil. "Seharusnya anak itu memberitahuku jika punya kawan jago basket sepertimu, astaga. Kita bisa berteman baik."

Peter terdiam, mematung di tempatnya berdiri.

"Jangan sedih, dua tahun setelah ini Audrey akan kembali ke Korea," ucap Berno dengan intonasi menyemangati dan senyuman hangat. "Ini bukan terakhir kalinya kalian akan bertemu di lapangan. Lain kali kalian masih bisa—"

"Apa?" alis Peter mengerut dalam, rahangnya mengeras. "Apa maksudmu?"

Kedua bola mata bulat Berno mengerjap beberapa kali.

"Kau tidak tahu? Bukankah Audrey ditarik oleh seorang coach Cheerleaders di Amerika?"

.

Peter menyelesaikan babak terakhirnya dengan luapan emosi yang campur aduk dan seperti kerasukan monster, ia mencetak angka pada ring lawan secara terus menerus tanpa ampun. Ketika peluit terakhir menggema dan tim basket Peter menang, pemuda itu terus menunduk. Bahkan ketika seluruh anggota tim mengajaknya high-five, ketika para suporter meneriaki namanya seperti idola, ataupun tatkala kedua tim berbaris dan Peter harus bersalaman dengan kapten tim lawannya. Peter terus menunduk.

"Kapten, pelatih katanya akan mentraktir—"

"Aku langsung pulang."

Peter menyambar jersey hitamnya, kemudian menarik risletingnya hingga separuh dada. Menyampirkan tas olahraganya dan berjalan ke luar lapangan tak peduli. Bahkan ketika seluruh pasang mata anggota timnya tertuju kepadanya.

"Peter," panggilan itu menyapa telinga Peter begitu pemuda itu telah bersiap menaiki sepedanya hendak memacu pulang. Area parkir siang itu tampak sepi dan gelap karena mendung. "Kau menang, selamat!" sudut matanya menangkap sosok Audrey yang telah berdiri beberapa meter dari posisinya, tertawa lebar dan ceria. Peter menggeritkan giginya ngilu. Amarah membumbung di paru-parunya teramat penuh.

Audrey berjalan semakin mendekat ke arahnya.

"Pergi," Peter mendesis tanpa menatap raut sahabatnya.

Akan tetapi, Audrey tetap melangkah menghabisi jarak sambil terkekeh. "Hei, kau kenapa?"

"Kubilang pergi."

Alis Audrey mengernyit heran. "Peter, apa kau sa—"

"Jangan sentuh aku," dengan garang, Peter menampik tangan Audrey yang hendak terulur kepadanya. Sorot netranya menikam, akan tetapi pupilnya gemetar oleh luka. "Pergi," gertak Peter sekali lagi. "Pergi yang jauh—dan jangan pernah kembali."

Obsidian bulat Audrey menyalang, mengerut tak mengerti. "Peter, kau kenapa?" tanyanya gusar. "Kita masih baik-baik saja pagi tadi. Apa yang terjadi? Kau kena—"

"—KAU yang kenapa, kutanya!" tanpa sadar, Peter telah menggeram dan mendorong sedikit bahu kawannya hingga Audrey mundur beberapa langkah. Ekspresinya syok mendapati Peter yang berteriak kepadanya. Peter tidak pernah berteriak kepadanya, apalagi bermain fisik seperti ini. Walau badannya tak sakit, tapi hatinya terasa pilu "Kau puas memperlakukanku seperti orang dungu barusan? Kau puas membohongiku selama ini? Bagaimana bisa kau begini tega menghancurkan kepercayaanku selama ini? "

Suara dalam Peter remuk meraik, ekspresinya mengguratkan kekecewaan dan rasa sakit yang nyata. Jemari Peter di sisi tubuhnya mengepal kuat. Respirasinya sesak oleh jutaan emosi dan kini Peter tak mampu membendungnya lagi.

"Oh apakah ini semua karena kau hendak ke Amerika—sebab itu kau sengaja bersikap manis hari ini dan menurut? Karena kau akan lama pergi, kau ingin memberikan kenangan sebagai ucapan selamat tinggal?" Peter bertanya sarkastik dengan tawa mengambang yang menyedihkan. "Begitu, Audrey?"

Lagi-lagi bola mata Audrey membesar. Menggeleng tak menyangka. "D-darimana kau…,"

"Jadi memang benar?" gelak samar dari bibir Peter terdengar memilukan. Hazel kembarnya separuh memincing. "Kalau begitu pergi. Pergi saja selamanya—jangan kembali. Jangan menunjukkan batang hidungmu di hadapan mataku lagi. Pergi—pergi jauh-jauh."

Audrey menyentak lengan Peter, menghalaunya untuk pergi. Rautnya yang semula terkejut, kini menajam tidak suka. "Apa ini? Kau marah karena berpikir aku menyembunyikan sesuatu darimu?" gagasnya penuh penekanan. "Astaga, aku hanya tengah mencari saat yang tepat untuk menceritakannya padamu. Bukan berarti aku melupakanmu, ya Tuhan. Aku tahu kau kesal, tapi kau tidak perlu mengatakan hal kejam seperti barusan. Bagaimana bisa kau begini kekanakan padahal kau lebih tua dariku?" entah mengapa, pikir Audrey yang kacau menjadikan emosinya tersulut. Audrey dapat melihat kedua pupil Peter yang mengecil oleh murka.

Peter terpaku, menyeringai pahit mendengar bagaimana Audrey justru menyalak di depan wajahnya.

Sekelebat kenangan ketika Audrey selalu mengikutinya kemana saja, memberenggut sembari menggamit ujung kaus Peter setiap kali mereka kecil memapah dalam ingatannya. Audrey yang mudah sekali menangis jika anak lain menjahilinya, dan Audrey yang selalu meneriaki namanya ketika pemuda itu terjepit membutuhkan pertolongan. Audrey yang tak pandai bergaul, Audrey yang mencurahkan segenap keluh kesahnya sambil merengek meminta pembelaan, Audrey yang manis dan manja kepadanya.

Kemana Audrey kesayangannya pergi? Wanita yang Peter cintai dalam diam seperti orang sinting; wanita yang kebaikan hatinya selalu mampu menambat rasa sepi dalam sanubarinya dan menjadikan Peter begitu ingin memercayai apa itu cinta.

—kemana?

Peter menggeritkan giginya sembari terkekeh parau.

"Kalau begitu cari saja teman baru yang tidak kekanakan sepertiku," Peter menggeratakkan gerahamnya pahit. "Cari teman baru yang bisa kau banggakan di depan teman-teman kerenmu. Cari teman baru yang tidak membuatmu malu, yang bisa kau beritahu namanya kepada teman-temanmu. Cari teman baru yang bisa mengantar jemputmu dengan mobil. Cari teman baru yang tidak bodoh sepertiku. Cari teman baru yang bisa membuatmu senang, karena aku menyerah bertahan dengan semua keegoisanmu!" suara menggigil Peter begitu kentara, bola matanya telah memerah menahan air mata. Peter mengingat semuanya. Hari dimana dirinya tak sengaja menemukan Audrey yang tersenyum ketika seseorang menjemputnya dengan limosin. Hari dimana Peter begitu bangga menceritakan detil soal Si-Luar-Biasa-Audrey kepada seluruh teman-temannya. Hari dimana Peter selalu memamerkan Audrey kepada semua orang sebab ia begitu bangga memiliki Audrey sebagai sahabatnya.

"Aku tidak pintar—aku urakan dan tidak kaya. Aku tidak memiliki apa-apa seperti teman-temanmu yang beken sementara kau memiliki segalanya. Kau populer, semua orang menyukaimu. Dan aku tak pernah lebih dari sekedar pengaruh buruk untukmu," Peter merasakan kerongkongannya panas, kendali emosinya buyar entah kemana. "Setiap hari aku berlatih dan belajar agar suatu hari bisa sejajar denganmu. Cerdas sepertimu—mahir bermain basket agak kau melirikku. Tapi kau selalu berlari terlalu jauh, Audrey—aku lelah mengejarmu. Aku berusaha menunjukkan padamu semua yang kupunya, semua yang kuperjuangkan selama ini—tapi kau meludahi segalanya di depan wajahku. Kau menghina setiap detik yang kuhabiskan untuk berusaha melampauimu. Kau melakukan segalanya seolah berkata jika aku bahkan bukan tandinganmu!"

Peter menggusak sudut matanya yang basah dengan kasar.

"Jika berteman denganku hanya membuatmu malu, pergilah, Audrey—pergi, dan jangan pernah kembali."

Sebab Peter tahu Audrey tak pernah merasakan hal yang sama. Wanita itu telah berkembang menjadi begitu sempurna sehingga Peter merasa teramat insignifikan tatkala berdiri beriringan bersamanya. Audrey adalah tebing yang begitu tinggi dan Peter merasa begitu tak berdaya terus berusaha mengarungi dan menaklukannya.

"—apa kau bodoh?" tiba-tiba Audrey menyentak kerah jersey Peter, wajahnya menengadah dengan obsidian kembar yang berkaca-kaca. Menjadikan Peter membelalak kaget dan terpasung separuh menganga. Menyaksikan bibir Audrey yang gemetar, begitu pula dengan suaranya. "Memilikimu sebagai teman tak pernah sekalipun membuatku malu—apa kau bodoh?" Audrey menelisik satu per satu pupil Taehyung, lalu menggeleng lemah. "Apa kau bilang, teman baru? Kau bukan barang—dan bahkan semilyar teman baru tak akan pernah bisa menggantikanmu, Peter, kau sahabatku satu-satunya."

Napas Audrey tersengal tipis, bertiup semakin dekat ke permukaan pori-pori Peter dan membuatnya merinding. Audrey menyandarkan puncak kepalanya di atas dada Peter dan kembali berbisik. "Aku bohong," ungkapnya. "Aku bohong soal seseorang datang kepadaku mengaku sebagai Mr.P—Mr.P itu kau. Aku tahu itu kau—dan aku tak mengharapkan apapun kecuali kau untuk berteriak dan menyangkalnya. Aku ingin kau berjuang untukku dan meyakinkanku jika cintamu adalah nyata. Aku ingin kau membantah semuanya dan berkata jika selama ini hanya kau yang selalu peduli padaku. Bahwa kau adalah Mr.P. Karena detik pertama begitu aku membuka amplopnya—aku segera tahu jika itu kau, Pete. Aku selalu tahu," Peter dapat merasakan basah merembes dari pakaiannya. Napasnya bagai berhenti tatkala Audrey menumpahkan segenap ungkapannya. Menjadikan Peter kehilangan akal dan tak menentu. "Pikirmu teman seperti apa aku jika tak menghafal tulisan tangan sahabatnya sendiri?"

Tangan Audrey bergerak untuk turun dan meremas fabrik di dada Peter dan kembali berucap.

"Aku menyukaimu, brengsek—"

Isakan samar Audrey menjadikan Peter terpaku tak percaya. Gerakannya mati, ujung-ujung jarinya mengebas, dan seutuh semestanya berhenti berotasi.

"Jauh sebelum kau mengirimiku surat kaleng, jauh sebelum kau selalu bersedia terluka untukku, jauh sebelum kau yang selalu berhasil menemukanku dimanapun aku bersembunyi," Audrey merasakan air matanya semakin mengalir deras. Namun ia tak lagi peduli. "Jauh sebelum menyadarinya—tiba-tiba saja aku tak bisa berhenti memikirkanmu. Aku begitu pecundang dan penakut, sehingga aku tak tahu apa yang harus kulakukan," Audrey mengangkat wajahnya, menemukan Peter dengan ekspresi kacaunya. "Begitu sadar tiba-tiba aku ingin memilikimu untuk diriku sendiri. Kau begitu mudah bergaul, dan aku membenci diriku sendiri karena membencinya. Aku tidak ingin membagimu dengan siapapun—semua gadis-gadis yang selalu menanyaiku siapa pemuda tampan yang selalu tertidur di ambang gerbang setiap jam pulang sekolah, semua teman-temanku yang ingin berkenalan denganmu. Tidak. Siapapun."

Audrey dapat merasakan ujung jemari yang dingin merambat ke permukaan pipinya. Mengangkatnya hati-hati, dan Audrey menyelesaikan kalimatnya berusaha menatap Peter di matanya.

"Peter itu milikku—jangan suruh aku pergi, jangan katakan padaku untuk tidak perlu kembali," Audrey menarik napas terkesirap, "Katakan jika kau ingin aku tinggal dan sembunyikan aku di bawah ranjangmu—selamanya."

Karena dalam lubuk hatinya, Audrey selalu tahu ada hal yang tak pernah berubah walau ribuan hari berusaha menghapus kenangannya mengudara. Peter yang akan menangis ketika Audrey pergi, dan Audrey yang sama sekali tak bisa menahan air matanya setiap kali melihat Peter menangis.

Suara rintik hujan dan napas terengah yang saling bersahutan menggema dalam isi kepala keduanya. Membiarkan hening menyelimuti segenap keraguan, berusaha mencari kejujuran dalam pupil satu sama lain.

Hingga tiba-tiba, ibu jari Peter bergerak untuk mengusap sudut mata Audrey yang basah. Kepalanya mendekat ke telinga gadis yang lebih muda sembari berbisik serak. "Hatimu itu—" Audrey dapat merasakan sekujur tubuhnya bergidik. Suara rendah dan dalam Peter seolah menyetrum tiap sudut sarafnya hingga mati rasa. "—serakah sekali."

Audrey menahan napasnya berdebar. Tangannya yang mencengkeram kain pada pakaian sahabatnya semakin erat.

"Kau tahu benar aku bodoh. Jika kau tak mengatakannya dengan jelas, aku tak akan paham," bisikan Peter bercampur sengguk lirih. Menjadikan Audrey memejamkan matanya berusaha menghayati setiap ungkapan. Peter yang membuat kedua lututnya lemas.

"Miliki aku sampai kau puas, —aku juga mencintaimu."

Kemudian Audrey dapat merasakan air matanya meleleh dari sudut netranya. Kedua kepal tangannya meremas jersey Peter begitu kuat seolah melepaskannya akan membuatnya terjebak kepada sebuah mimpi buruk yang abadi. Bibir Peter yang menyentuh lembut belah bibirnya menjadikan jemari kakinya menekuk, respirasinya terlupakan. Lengan Peter memerangkap postur tubuhnya dalam dekapan yang membuatnya abai akan gerimis hujan. Terbakar di antara ribuan hembusan angin membekukan. Menitikkan air mata di antara milyaran kerinduan dan kebahagiaan.
     
 
what is notes.io
 

Notes.io is a web-based application for taking notes. You can take your notes and share with others people. If you like taking long notes, notes.io is designed for you. To date, over 8,000,000,000 notes created and continuing...

With notes.io;

  • * You can take a note from anywhere and any device with internet connection.
  • * You can share the notes in social platforms (YouTube, Facebook, Twitter, instagram etc.).
  • * You can quickly share your contents without website, blog and e-mail.
  • * You don't need to create any Account to share a note. As you wish you can use quick, easy and best shortened notes with sms, websites, e-mail, or messaging services (WhatsApp, iMessage, Telegram, Signal).
  • * Notes.io has fabulous infrastructure design for a short link and allows you to share the note as an easy and understandable link.

Fast: Notes.io is built for speed and performance. You can take a notes quickly and browse your archive.

Easy: Notes.io doesn’t require installation. Just write and share note!

Short: Notes.io’s url just 8 character. You’ll get shorten link of your note when you want to share. (Ex: notes.io/q )

Free: Notes.io works for 12 years and has been free since the day it was started.


You immediately create your first note and start sharing with the ones you wish. If you want to contact us, you can use the following communication channels;


Email: [email protected]

Twitter: http://twitter.com/notesio

Instagram: http://instagram.com/notes.io

Facebook: http://facebook.com/notesio



Regards;
Notes.io Team

     
 
Shortened Note Link
 
 
Looding Image
 
     
 
Long File
 
 

For written notes was greater than 18KB Unable to shorten.

To be smaller than 18KB, please organize your notes, or sign in.