Notes

Kerlip Los Angeles adalah abadi. Gemerlapnya niscaya digerogoti waktu kala lengkung mikrokosmos mengepung atmosfer menjadi sebuah gelembung padat.

Waktu itu Clementine berada di tengah kasino, sedang menarik benang delusi yang tercanang di balik plastik pipih warna-warni. Dengus serta gerutu mengambil alih meja sejak pertengahan permainan diiringi oleh tumpukkan dolar yang semakin menggunung.

Ah, mereka kehilangan harta sampai berani menggenggam pistol demi meredam amarah.

Kedua sudut bibirnya terkatrol ke atas saat decih keras si Pak Tua mengiringi bantingan kartu di atas meja.

Ampun, cecunguk-cecunguk ini masih saja bekerja keras untuk mengembalikan masa mudanya yang berjaya.

Apreasiasi Clementine hanya tergali sedalam itu, sebelum pundaknya ditepuk oleh seseorang yang menyeret paradigma menuju orientasi masa depan.

Menuntut belas kasih adalah perihal terakhir yang ingin ditanggung pundak. Reputasi bertajuk refleksi telah membakar darah dagingnya sendiri serta mengupas harga diri beralibi pengorbanan. Usianya sepuluh ketika keinginan masa kecilnya terkabul; berharap sang ayah meniadakan sesi ceramah di hari minggu.

Candra tergantung rendah, dinaungi oleh gumpalan awan putih. Seolah mengawal pelontaran kata-kata, di dalam benaknya masih jelas air muka tenang serta lantunan pernyataan ayah yang mewakili sebuah titik hiposentrum problematika. Ia bahkan tidak keberatan sama sekali.

Seharusnya Clementine masih terbungkus ke dalam balutan sutra putih kala cercahan cahaya dari pantul kaca jendela menyiram sarira. Kendati demikian, angan tersebut terburai sebelum sulur-sulur hipotalamus menyentuh nyata. Sepasang netra tak lagi menyoja langit-langit serupa, dan kelambu ranjang seketika saja mengingatkannya akan mimpi buruk.

Bertahun-tahun jejak tungkai merambati arus kehidupan, identitas sang dara bukan lagi seorang semata wayang Moon. Presensinya merupakan eigendom atas pihak yang tidak pernah memijak bumi relasi. Bagi Clementine, rajut hidup merupakan kurungan bagi watak bertopeng.

Eksistensi perlawanan tunggal yang pernah terjadi hanyalah semu dan nirwujud. Wajahnya tidak pernah menyentuh udara kebebasan, meski sepasang lengan telah terentang menyambut makna. Seluruh animo menggapai pemenuhan dan timbal balik. Kendati begitu, hanya ada sebuah hadiah untuk usaha pelarian; angkara.

Ada suatu ketika, tungkai tak lagi kuat menapak ubin serupa dan nostrilnya telah muak mengecap atmosfer bening. Clementine kembali menyapa langit malam, menerobos arus pawana yang membawanya menuju lingkaran baru. Namun, siapa sangka telapak kaki telanjang bekerja layaknya sebuah perahu yang tengah melintasi laut hitam dalam hening.

Sebuah otomobil di atas bulevar adalah pijakkan nomor satu. Ia berjalan buta dengan kaki yang pincang. Clementine tidak tahu apa pun mengenai probabilitas destinasi akhir, coret neraka.

Ia ditampung dalam sebuah bak besar yang kedap akan cahaya. Ada beberapa figur yang menjalani alur kisah homogen dengan dirinya. Sang dara tidak memberontak, alih-alih menjejalkan pikiran dengan segala cara untuk melarikan diri.

Anyaman waktu kian mengetat. Selama itu pula, sang puan telah berpengalaman untuk menjadi penumpang truk kargo, kapal, dan paling bagus truk tronton yang baik. Perjalanan ini bukanlah suatu ekspedisi jangka waktu pendek. Selama berbulan-bulan ia tidur dengan punggung bungkuk di dalam mobil yang berguncang. Tidak ada yang pantas dianggap layak. Cecap pada indra perasa hanya menyentuh hanya sebungkus biskuit atau roti dan sebotol air minum.

Pada dasarnya, mereka adalah orang yang diasingkan, tidak ada alasan lain untuk memerhatikan kenyamanan selain untuk tetap menjamin kalian hidup.

Setidaknya hingga suatu hari di mana Clementine mulai memerhatikan pergerakan seorang figur di dalam mobil. Gesekkan samar yang menganggu tidurnya ketika malam tiba membuat dirinya menekuni pengamatan diam-diam. Sosok itu adalah yang terdiam. Ia duduk di bagian tengah, sedang menekan jarak antara wajah dan lantai truk agar dapat menggoreskan benda tajam yang asalnya tidak diketahui.

Hasil goresan berselindung selembar kain berkembang seiring dengan pacuan periode. Kejadiannya ada di malam hari saat truk yang dirinya naiki melaju dengan sangat cepat. Hampir seisi truk telah jatuh terlelap mengingat suasana di dalam kotak pengap tersebut akan menyambut bayang begitu malam datang. Namun, seluruhnya terjadi begitu cepat ketika suara letusan memaksa seisi truk kembali terjaga.

Truk berhenti tiba-tiba, sorak-sorai yang tak kunjung redup mengundang rasa penasaran. Tanpa tahu-menahu persentase kesuksesan, keberanian yang bersemayam di balik sanubari tercangkul. Sosok tersebut menyingkap kain, lantas langsung meloloskan diri melewati lubang yang ternyata hanya butuh sebuah pukulan penuh untuk melepaskan lempengannya.

Clementine sangat tahu bahwa kesempatan ini akan diambil tidak secara berkala oleh mereka. Ia melakukan hal serupa dengan susah payah, punggungnya menerima dorongan sementara tubuh bagian sampingnya tergores akibat sisi jalan keluar yang tidak halus. Kendati begitu, setidaknya ia adalah orang terakhir yang berhasil menyapa udara kebebasan ketika pemilik truk menyadari kekacauan.

https://twitter.com/gangnamcityAU/status/1195386214020341761