NotesWhat is notes.io?

Notes brand slogan

Notes - notes.io

ㅤㅤSudah lapar, lelah pula. Dua hal tersebut secara bersamaan tengah meruntuhkan semangat Han Gaeul yang biasanya masih kelihatan segar setelah penerbangan. Meski hanya ada satu penerbangan saja hari ini, Gaeul harus pergi bolak-balik. Ia terbang dari Gangnam menuju Gwangju tadi pagi, lalu kembali lagi ke Gangnam pada siang hari. Pikirannya tak ada pada apa yang mungkin ia hadapi siang ini. Suatu hal yang sangat tidak pernah Gaeul duga-duga.
ㅤㅤPihak kantor maskapai di bandara mengatakan ada seorang wanita yang mencari Gaeul. Beruntungnya wanita itu datang ketika Gaeul sedang ada di kantor dan baru saja menyelesaikan jadwal penerbangannya. Bayangkan jika wanita itu datang kemarin atau besok, saat Gaeul harus terbang ke Australia esok hari atau kemarin ketika Gaeul tak memiliki jadwal penerbangan sama sekali.
Dari sekian banyak penghuni bumi, tidak banyak yang percaya dengan adanya takdir. Sebagian dari mereka menganggap sesuatu yang mempertemukan dua hal di waktu tak terduga, sebagai bentuk sebuah kebetulan. Persoalan mengenai wanita yang datang ke kantor maskapai Gangnam Airlines siang ini di bandara, tergolong yang mana?
ㅤㅤ”Siapa? Kau tidak tanya namanya?” Gaeul mengernyitkan kening pada salah satu temannya—Yookyung, yang kebetulan menemui Gaeul di ruang karyawan. Saat itu Gaeul baru saja mengganti pakaian kerjanya dengan kaus velvet hijau dan celana bahan hitam. Rambut Gaeul pun sudah tak lagi tergelung ke belakang, hanya berbentuk ekor kuda yang tinggi. Hanya make up perempuan itu yang tersisa. Masih tampak tebal seperti ketika sedang bertugas di hadapan penumpang.
"Aku tidak tahu. Tapi orang di meja depan tahu.” Yookyung mengendikkan bahu acuh tak acuh. Selanjutnya, Gaeul tidak lagi mempertanyakan hal tersebut pada Yookyung dan langsung menjinjing tas hitam berisi pakaian seragamnya keluar dari ruang karyawan.
Ketika Gaeul keluar dan mendekati meja resepsionis, perempuan di balik meja mengucapkan sesuatu yang membuat wanita di depan meja menoleh. Tadinya, wanita itu tengah memeriksa ponsel. Tertunduk. “Itu dia Han Gaeul, Nyonya.”
Tahu bahwa wanita di depan meja adalah sosok yang mencarinya, Gaeul sudah memasang senyum. Namun, senyum itu tidak bertahan lama di wajahnya setelah tahu siapa wanita yang datang mencarinya sampai ke kantor maskapai Gangnam Airlines di bandara.

***

Sejak tadi masih berada di kantor hingga sekarang mereka ada di cafe bandara, tatapan mata Gaeul tidak pernah bisa terlepas dari pria jangkung dan bertubuh besar yang mengenakan pakaian formal serba hitam. Si bodyguard. Sepertinya, sosok yang dikawal oleh pria jangkung itu menyadari perhatian Gaeul terbagi darinya.
“Jangan mengkhawatirkan dia. Dia hanya supirku,” kata wanita yang saat ini duduk di bangku seberang Gaeul.
Wanita itu adalah Oh Jinhee.
Siapa Oh Jinhee?
Dia adalah ibu dari Cheon Minho.
Gaeul mengenalinya karena mereka berdua sempat bertemu di rumah sakit. Saat Gaeul berkunjung untuk menjenguk putra Jinhee yang baru saja dicelakai oleh orang lain. Gaeul bahkan masih ingat bagaimana pertemuan pertama mereka yang ... agak tidak pantas. Jinhee nyaris memergoki putranya dan Gaeul berciuman.
“Ah, baik. Maafkan aku, Nyonya..”
“Nyonya?” Jinhee mengangkat sebelah alis ketika mendengar sapaan tersebut, “Dulu kau memanggilku Bibi. Apa ini karena aku menemuimu di bandara?” tanya Jinhee lagi. Kali ini ia menatap cafe tempat mereka berada saat ini. “Mungkin sebaiknya aku mengajakmu makan di luar area ini supaya tidak terlalu kaku.”
Wanita ini...
Wanita di hadapan Gaeul ini membuat Gaeul tidak berkutik dan tidak tahu harus mengatakan apa selain menuruti permintaan wanita tersebut yang diungkapkan secara tak langsung.
“Maafkan aku, Bibi..” Gaeul meralat ucapan maafnya.
Oh Jinhee tersenyum. Ia memperhatikan bahwa ada pramusaji cafe yang dari jauh akan datang ke mejanya. Satu pitcher teh hijau latte dan dua cangkir dipindahkan ke hadapan Jinhee dan Gaeul. “Terima kasih,” kata Jinhee sebelum pramusaji itu pergi.
Gaeul ikut tersenyum pada si pramusaji.
Setelah teh tersaji di atas meja dan pramusaji sudah menuangkan satu putaran teh pertama pada dua cangkir di sana, Oh Jinhee mengambil salah satu cangkir tersebut.
“Namamu Han Gaeul, ‘kan?” tanyanya, lalu menyeruput teh tersebut.
“Benar, Bibi. Namaku Han Gaeul.” Berbeda dengan Jinhee yang santai menyeruput tehnya, Gaeul justru kelihatan tegap dan was-was. Punggungnya lurus. Kedua tangannya berpangku pada paha. Seperti seseorang yang sedang menjalani sesi wawancara untuk masuk ke pekerjaan barunya.
Setiap detik yang berlalu. Setiap gerak yang dibuat oleh wanita di hadapannya. Han Gaeul merasakan ketegangan kian merambati tubuhnya.
“Sudah berapa lama kau menjadi seorang pramugari?” Oh Jinhee kembali bertanya, sekaligus meletakkan cangkir teh beserta tatakan alasnya ke atas meja.
“Hampir tujuh tahun..,” Gaeul menjawab secara impulsif, kemudian meralatnya, “sepertinya bulan kemarin genap enam tahun, Bi.”
Jawaban tersebut membuat Oh Jinhee menganggukkan kepala. Ekspresi wajahnya datar namun Gaeul bisa melihat senyum samar di bibirnya. Sebuah reaksi yang membingungkan sekaligus membuat Gaeul tetap waspada.
“Lama juga...,” komentar Jinhee. Sejenak ia kelihatan mengulur waktu, memperhatikan beberapa dekorasi pada cafe. “Sudah berapa lama kau mengenal putraku?”
Seketika wajah Jinhee terarah pada Gaeul. Nada tanyanya menelisik namun ada ketegasan di sana. Suatu ketegasan yang menyebabkan Gaeul menelan ludah sebelum menjawab. “Aku... tidak begitu ingat, sepertinya lebih dari tujuh bulan..”
Oh Jinhee menggumam tanpa alasan setelah mendengar jawaban Gaeul. Ia memulai perhitungannya mengenai waktu saat pertama kali keluarganya dan keluarga Fu membicarakan pertunangan. Pertemuan Han Gaeul dengan putranya jauh lebih dulu dibandingkan perjodohan yang direncanakan.
“Apa hubunganmu dengan Minho?”
Ketika nama itu disebut, Han Gaeul tidak bisa menyembunyikan reaksi wajahnya yang berubah. Sedikit kerutan tampak di kening, bibirnya agak terlipat ke dalam. Sedikit yang Jinhee tahu, perempuan itu tidak mengetahui bahwa dua tangan Gaeul mengepal di pangkuannya sendiri.
“Kami hanya te—“
“Tidak. Aku tidak melihat kalian seperti dua orang teman,” Oh Jinhee langsung menyela. Cangkir teh yang ia letakkan di meja tadi kembali diambilnya. Tiga kali tegukan langsung meluncur melewati kerongkongan Jinhee. “Ceritakan padaku yang sejujurnya, Han Gaeul-ssi.”
Sebelum memutuskan apakah ia akan menceritakan yang sebenarnya atau tidak, Gaeul menarik napas dalam. Ia menghembuskannya secara perlahan.
“Tanpa mengurangi rasa hormatku, Bibi. Apa yang membuat Bibi merasa aku tidak jujur kalau kami adalah teman? Pada kenyataannya aku dan Minho memang hanya teman.”
... ya, teman tidur. Teman bercinta. Teman yang tiap kali menghabiskan waktu berdua akan berakhir telanjang di atas ranjang.
Oh Jinhee meletakkan lagi cangkir tehnya.
“Cheon Minho adalah putraku,” ia tersenyum, “insting seorang ibu.” Ada sedikit rasa pilu ketika Jinhee mengatakannya. Namun rasa pilu itu tak ia perlihatkan. Semua yang saat itu dikatakan Oh Jinhee, tidak memberikan kesan janggal bagi Han Gaeul. Perempuan yang lebih muda darinya itu dan sepantaran dengan putranya, hanya melihat Jinhee sebagai seorang ibu yang tengah membanggakan hubungan batin ibu dan putranya.
Setelah mengatakan hal tersebut, Gaeul seperti kehabisan jalan. Tetapi ia juga seperti tidak bisa bergerak kemana-mana sebelum mengatakan yang sebenarnya. Mata tajam Jinhee terus mengawasi Gaeul. Menuntut kebenaran.
“Y-yah... mungkin kami memang bukan teman..” Gaeul mulai menundukkan kepala. Membayangkan hal apa yang pernah ia lakukan bersama Minho dan bukan mencerminkan sebuah hubungan pertemanan. Beberapa detik diam, ia baru mengangkat wajahnya lagi, “tapi aku dan Minho tidak punya hubungan yang lebih dari teman.”
Itu juga benar. Baik Gaeul mau pun Minho, keduanya tidak pernah menyatakan cinta pada satu sama lain. Meski secara pribadi, Gaeul merasakan sesuatu yang tidak seharusnya ia rasakan pada Minho.
“Kau tahu putraku sudah bertunangan?”
Dan inilah alasannya.
Inilah alasan mengapa Gaeul merasa ia tidak seharusnya merasa jatuh cinta pada Cheon Minho terlepas dari apa saja yang pernah mereka berdua lakukan. Semua itu mereka lakukan bukan karena cinta—setidaknya, itu yang Minho mungkin rasakan. Bersenang-senang dengan Gaeul tanpa mempedulikan perasaan yang tumbuh dalam diri perempuan itu.
“Ya... saya tahu Minho dan Jinyi sudah bertunangan..” suara Gaeul memelan. Kedua bola matanya kelihatan agak gemetar.
Dari pernyataan dari gadis di hadapannya, Jinhee bisa menangkap kalau kalimat itu belum selesai. Sehingga, Jinhee memilih untuk diam dan menatap penuh tanya. Menantikan kelanjutan kalimat yang akan terlontar dari bibir merah milik Han Gaeul.
“Aku tidak berniat mengganggu mereka, Bibi. Aku minta maaf kalau ini yang membuatmu datang kemari,” Gaeul membungkukkan kepala dan tubuh agak dalam. Masih dalam posisinya yang menunduk, Gaeul kembali berucap, “aku dan Minho—kami sudah sepakat untuk tidak bertemu lagi agar tidak ada salah paham di antara keluarga Minho atau keluarga Jinyi.”
Beberapa pasang mata yang kebetulan menangkap posisi di mana Gaeul duduk, menyaksikan perempuan itu dengan tanda tanya besar dalam pemikiran mereka. Mereka seperti menyaksikan seseorang tengah meminta maaf pada wanita berpenampilan kelas atas. Mulai muncul dugaan macam-macam. Tapi, orang-orang yang memperhatikan itu hanya bisa sebatas memperhatikan.
Oh Jinhee merasa heran. Ia juga berani menjamin bahwa perempuan bernama Han Gaeul ini jelas-jelas memiliki hubungan lebih dengan putranya. Entah hubungan apa yang mereka berdua sepakati, yang jelas adanya hubungan ini juga membawa pengaruh lain bagi putranya setelah sekian lama. Setelah perempuan terakhir yang hadir dalam kehidupan putranya, pergi.
Menyadari bahwa sekitarnya ada orang-orang yang menatap ke arah mejanya, Jinhee langsung mengambil kembali cangkir tehnya. “Gaeul-ssi, bisa kau angkat wajahmu? Orang di sekitar kita sepertinya mulai berpikir macam-macam tentangku,” kata Jinhee sebelum menyeruput tehnya.
Ucapan itu membuat Gaeul seketika menegapkan tubuh. Tanpa menoleh ke kanan ke kiri, Gaeul bisa merasakan ada orang-orang yang saat ini menatapnya. Tetapi, mereka tidak lagi menatap karena iba atau penasaran dengan gestur tubuh Gaeul. Orang yang memandangi perempuan bermarga Han itu justru sedikit terpesona dengan wajah Gaeul yang masih berpoles make up. Harus diakui, perempuan itu jauh lebih menawan dan beraura ketika sudah berpenampilan siap kerja sebagai pramugari.
“Minumlah tehmu dulu,” titah Jinhee.
Menurutinya, Gaeul meraih cangkir teh yang masih penuh di meja. Lalu ia menyeruput minuman favoritnya itu dan seketika merasa lebih tenang. Gaeul langsung menghabiskan satu cangkir penuh yang sudah tak begitu panas.
“Urusanmu dengan Minho dan Jinyi ... aku tidak perlu mengetahuinya secara lengkap ... aku tahu, kalian bertiga cukup dewasa untuk mengurus itu sendiri.” Oh Jinhee berdeham. Ia kembali meletakkan cangkir tehnya dan menyandarkan punggung pada kursi.
“Sekarang, ceritakan padaku seperti apa putraku di matamu.”
“Maaf..?” Gaeul sepertinya butuh pengulangan untuk memastikan bahwa yang ditanyakan Ibunda Minho benar dan bukan sebuah kekeliruan. Apalagi pembicaraan mereka baru saja berbelok dari topik pertunangan Minho dan Jinyi.
“Ceritakan kepadaku, seperti apa Cheon Minho di matamu.” Jinhee mengatakannya dengan penuh penekanan di tiap kata. Membuat Han Gaeul dengan jelas menerima bahwa maksud dari pertanyaan itu adalah maksud secara harfiah. Tidak ada kesalahan. Tidak ada kekeliruan. Tidak ada maksud lain dari pertanyaan tersebut.
Pertanyaan yang diberikan oleh wanita di hadapannya ini bukan suatu hal rumit. Gaeul sudah cukup mengenal baik pria itu—Cheon Minho—untuk dapat mendeskripsikan seperti apa sosok Cheon Minho dan bagaimana kesan pertama Gaeul terhadapnya. Semua bisa saja keluar dari mulut Gaeul dengan mudah jika lawan bicaranya bukan ibu dari Minho atau situasi hubungan Gaeul dan Minho tidak seperti sekarang. Ia bahkan tidak lagi bertukar pesan dengan Minho.
Menanti penuturan gadis di hadapannya, Oh Jinhee kembali menuangkan teh dari pitcher ke cangkirnya. Diam-diam, wanita itu meyakini 100% bahwa ketidakberesan dan ketidakbiasaan sikap Minho memiliki kaitan erat dengan gadis di hadapannya. Han Gaeul si pramugari ini.
“Apa Bibi menginginkan jawaban jujur dariku?” Gaeul sedikit menegapkan duduk. Sedikit pergerakan syaraf pada leher pucat itu memperlihatkan kegugupan. Dan memang benar, Gaeul sedang gugup karena sebagian besar dirinya ingin berbagi opini dengan wanita yang tak lain adalah ibu dari pria yang dicintai oleh Gaeul.
“Ya, Han Gaeul. Aku akan sangat mengapresiasi kejujuranmu.”
Tatapan mata Gaeul tertuju pada cangkir milik Jinhee yang saat ini masih mengeluarkan asap. “Pertama kali aku mengenal Cheon Minho, aku berpikir kalau dia adalah pria yang sangat brengsek...”
Oh Jinhee mengatupkan rahangnya dengan keras. Memaksakan senyum. Kepalanya sedikit dimiringkan untuk menagih kelanjutan kalimat Gaeul.
“Tapi semakin aku mengenal Minho, dia orang yang peduli dengan orang-orang yang ada di sekitarnya,” lanjut Gaeul. “Minho orang yang sopan, memiliki selera tinggi, rapi, dan cinta kebersihan.”
Sedikit rasa kesal dan geli karena mendengar komentar bahwa putranya adalah orang yang brengsek, langsung berkurang mendengar kelanjutan kalimat Gaeul.
“Minho juga selalu berusaha hidup sehat. Pola makannya baik, dia juga pekerja keras yang tidak ragu mengurusi pekerjaannya meski sedang di luar jam bekerja.”
Tatapan mata Gaeul terangkat dari cangkir teh Jinhee. Kedua mata cokelat itu tampak sedikit berkaca-kaca. Ada seulas senyum tipis pada bibir merahnya. “Putramu orang yang baik, dan kurasa Jinyi adalah orang yang tepat. Mereka kelihatan cocok.”
Lagi-lagi, gadis di depannya ini membawa nama Jinyi. Sebelah alis Oh Jinhee berkedut refleks karena suasana yang tiba-tiba berubah. Kebahagiaan yang tadi ia rasakan dari deskripsi yang Gaeul berikan mengenai putranya, serta rasa bangga yang ia dapatkan karena tahu telah membesarkan putranya sesuai harapan, sedikit diselipi perasaan kurang enak. Semua karena Gaeul membawa-bawa nama Jinyi.
Oh Jinhee meraih cangkir tehnya untuk ke sekian kali dan membawa bibir cangkir pada bibirnya.
“Aku yakin Minho akan bahagia.”
Jinhee yang tadinya tengah menyesap teh, berhenti. Ia letakkan cangkirnya ke atas meja, dan ia tatap Han Gaeul dengan wajah yang ramah.
“Baiklah.. sudah cukup,” kata Jinhee dengan nada tenang. Wanita itu rupanya bisa mengendalikan emosi yang tercipta karena obrolannya dengan gadis bernama Han Gaeul tersebut. “Kapan terakhir kali kau bertemu dengan Minho?”
Gaeul yang baru kembali disadarkan bahwa semua yang ia bayangkan tentang Minho sudah ada di masa lalu dan mungkin tak akan pernah terulang kembali, sedikit tidak menyangka dengan alur pertanyaan yang tak tentu. “Kapan, ya...” Gaeul tidak langsung menjawab dan berusaha mengingatnya.
Gaeul berpikir
Berpikir.
Hingga akhirnya mengingat kapan terakhir kali ia berhadapan dengan Cheon Minho.
“Aku tidak tahu pasti... tapi saat itu aku bertemu dengan Minho di sebuah bar..”
Di sebuah bar? Jinhee mengangkat sebelah alis.
“Saat itu aku sedang bersama teman-temanku, lalu aku bertemu dengan Minho,” Gaeul merasa tidak sanggup untuk melanjutkannya. Namun, cerita singkatnya itu justru sebuah bentuk kepingan puzzle yang dicari-cari oleh Oh Jinhee. Alasan mengapa wanita tersebut menemui Han Gaeul di bandara saat ini.
Detik ini.
“Ya... sepertinya itu adalah terakhir kali aku bertemu dengan Minho.”
Dua pasang mata perempuan yang duduk di satu meja itu bertemu. Mereka sama-sama membayangkan satu wajah yang sama dalam kepala mereka. Yang satu adalah wajah sang putra, dan yang satu lagi adalah wajah pria yang dicintai olehnya. Akan tetapi, kedua perempuan itu memiliki pemikiran berbeda.
Yang satu adalah pemikiran bahwa ini adalah akhir segalanya, sedangkan yang satu lagi adalah pemikiran bahwa ini adalah awal dari segalanya.

     
 
what is notes.io
 

Notes.io is a web-based application for taking notes. You can take your notes and share with others people. If you like taking long notes, notes.io is designed for you. To date, over 8,000,000,000 notes created and continuing...

With notes.io;

  • * You can take a note from anywhere and any device with internet connection.
  • * You can share the notes in social platforms (YouTube, Facebook, Twitter, instagram etc.).
  • * You can quickly share your contents without website, blog and e-mail.
  • * You don't need to create any Account to share a note. As you wish you can use quick, easy and best shortened notes with sms, websites, e-mail, or messaging services (WhatsApp, iMessage, Telegram, Signal).
  • * Notes.io has fabulous infrastructure design for a short link and allows you to share the note as an easy and understandable link.

Fast: Notes.io is built for speed and performance. You can take a notes quickly and browse your archive.

Easy: Notes.io doesn’t require installation. Just write and share note!

Short: Notes.io’s url just 8 character. You’ll get shorten link of your note when you want to share. (Ex: notes.io/q )

Free: Notes.io works for 12 years and has been free since the day it was started.


You immediately create your first note and start sharing with the ones you wish. If you want to contact us, you can use the following communication channels;


Email: [email protected]

Twitter: http://twitter.com/notesio

Instagram: http://instagram.com/notes.io

Facebook: http://facebook.com/notesio



Regards;
Notes.io Team

     
 
Shortened Note Link
 
 
Looding Image
 
     
 
Long File
 
 

For written notes was greater than 18KB Unable to shorten.

To be smaller than 18KB, please organize your notes, or sign in.