Notes

Masihkah media konvensional diperlukan dalam ‘Era Digital’ ini?

Kita sedang hidup dalam sebuah era yang baru. Yap, semenjak kemunculan berbagai social media, forum online, dan berbagai mini blog untuk berbagi cerita, gambar, serta video, kita seolah-olah memiliki sebuah dimensi yang lain daripada dimensi fisik tempat kita beraktifitas biasanya. Dan dimensi ini bukanlah sebuah dimensi yang eksklusif untuk diakses hanya oleh kalangan tertentu saja. Kemunculan berbagai teknologi baru serta infrastruktur yang mendukungnya telah membuat dimensi ini menjadi lebih inklusif dan memiliki daya tarik tersendiri bagi berbagai kalangan. Bagi masyarakat umum, ‘dunia digital’ menimbulkan sebuah rasa penasaran dan trend baru dalam bergaul, mencari informasi, dan berinteraksi dengan orang lain. Lain lagi bagi perusahaan-perusahaan yang ingin mengampanyekan brand mereka pada target segment mereka, dunia digital ini menumbuhkan peluang baru yang menjanjikan bagi perusahaan untuk berpromosi secara efektif dan efisien. Banyak perusahaan mulai merespon peluang ini dengan memasukan berbagai media baru ini (social media, forum online, dan mini blog) ke dalam strategi marketing mereka, beberapa bahkan sampai menciptakan divisi khusus untuk meng-handle pengurusan media-media ini. Hasil studi menunjukan, terjadi sebuah ‘lonjakan’ (leap) pemasukan saat strategi ini diterapkan menggunakan anggaran dengan jumlah yang sama (yang tadinya disiapkan untuk promosi dengan cara konvensional) dan bukan itu saja, peningkatan ini berjalan secara konsisten untuk waktu-waktu berikutnya, bukan hanya sebuah lonjakan sesaat.

Kembali ke pertanyaan awal kita, apakah kita masih membutuhkan media promosi konvensional? Berbagai rekan yang saya temui dari berbagai jenis industri di Workshop Brand Management yang diadakan MarkPlus pada bulan April kemarin mengeluhkan tingginya biaya beriklan melalui media cetak dan TV sekarang ini. Sebagian juga meragukan efektivitas dari iklan-iklan berbiaya mahal ini. Namun untuk segera menghilangkan promosi ini, mereka pun masih ragu. Bagaimana sebaiknya?

Sebuah institusi pendidikan terbaik se-dunia pun tidak dapat menyembunyikan rasa penasaran mereka terhadap pertanyaan di atas. Pada akhir tahun 2013, Harvard Business Review merilis hasil penelitian mereka mengenai pertanyaan ini. Riset yang dilakukan di Harvard Business School ini dilakukan terhadap salah satu program mereka sendiri, yakni HBS – Executive Education Program. Dari hasil penelitian mereka, mereka mendapati dalam 1 tahun US$ 32,000 mereka habiskan untuk berpromosi melalui media konvensional berupa surat dan brosur. Angka tersebut merepresentasikan sekitar sepertiga dari anggaran promosi mereka. Sementara peringkat kedua terbesar dari biaya promosi mereka sebesar US$ 10,101 dihabiskan untuk berpromosi lewat contextual advertising pada Google. Sisanya secara berurutan berdasarkan pengeluaran, biaya promosi mereka dihabiskan untuk display advertising, paid search, e-mail ,website sementara ada dua komponen promosi mereka yang tidak mengeluarkan biaya sama sekali yakni organic search, dan social media. Apakah biaya sebesar itu worth it? Mengapa tidak kita andalkan saja promosi-promosi yang berbiaya rendah dan hilangkan promosi-promosi berbiaya tinggi? Pertanyaan ini terjawab dengan hasil penelitian mereka yang menunjukan bahwa terdapat 60% dari peserta yakni 151 orang (jumlah pendaftar yang dapat diatribusikan kepada media-media promosi) yang mendaftar untuk program ini yang mendaftar karena melihat media-media promosi yang digunakan HBS. Melalui surat dan brosur, terdapat 30 pendaftar, atau sekitar seperlima dari total pendaftar yang dapat diidentifikasi pemicunya untuk mendaftar. Mereka menilai, sekalipun biaya tersebut besar, namun kontribusi yang diberikannya pun cukup signifikan. Lagi pula, belum ada bukti bahwa media lain dapat menggantikan peran dari media konvensional ini. Maka sampai saat ini Harvard Business School khususnya Program Executive Education masih menggunakan surat dan brosur untuk kegiatan marketing mereka.

Melengkapi jawaban yang diberikan oleh Harvard, kami di MarkPlus meyakini bahwa setiap media promosi memiliki perannya masing-masing dalam sebuah rangkaian kampanye marketing. Sesuai dengan framework 5A yang baru saja dirilis Bapak Hermawan Kartajaya pada buku WOW Marketing pada acara Jakarta Marketing Week 2014 kemarin, kita perlu memerhatikan customer journey kita dan menjadikan itu pertimbangan utama untuk memberikan eksekusi yang efektif. Maka, untuk kasus HBS – Executive Education Program ini, pada bagian akhir artikel ini kami lampirkan rekomendasi untuk memanfaatkan tiap media secara tepat guna. Pertanyaan yang tersisa sekarang, apakah Anda sudah memanfaatkan media-media yang Ada untuk brand atau perusahaan Anda?



Sumber:

HBR Case Study “Harvard Business School Executive Education: Balancing Online and Offline Marketing“



Ralf Maruli Damanik, Juni 2014, www.markplusinc.com