Notes

Sudah menjadi hal biasa bagi pemuda bernama lengkan Danial Kim Keyza saat mendapati gerbong yang menaunginya padat oleh manusia-manusia yang rata-rata adalah pekerja. Sudah menjadi rutinitas pula saat jam jam pulang yang padat dengan banyak warna abu-abu dan hitam pekat.
Iya, hal biasa karena itulah yang sering Eza dapati saat harus melewati perjalanan panjang menggunakan kereta.
Berdiri dari Stasiun Bogor padahal harusnya bisa duduk, akan tetapi memilih membiarkan seorang ibu-ibu dengan bawaan yang banyak duduk di tempatnya tadi. Menikmati perjalanan panjang menuju stasiun yang menjadi tempat transit sambil berdessak-desakan. Sampai perhentian di Stasiun Universitas Indonesia, hadir sosok wanita berperawakan mungil yang sekali lihat sudah ditebak kalau dia datang tidak seorang diri; ada janin di perut yang tertutup kain tebal itu.
Dengan refleks, mata telanjangnya langsung menelusuri setiap kursi demi mencari sisa-sisa kosong untuk ditempati satu orang. Tidak ada. Semua hampir dipenuhi oleh manusia-manusia yang –entah tidur atau pura-pura tidur- menampakkan wajah terlampau lelah. Kembali, sepasang netra gagaknya melirik kedua kursi prioritas yang sialnya sudah teramat penuh, bahkan sampai diisi empat orang.
‘’Mas, maaf,’’ tangannya menepuk lutut berlapis jeans itu dan mendapati guratan tidak suka disertai desahan kesal; Eza mengetahuinya dari udara yang keluar dari labium si pria, ‘’Ada ibu hamil.’’
‘’Mas, tau capek gak? Saya capek!’’ Tidak membentak, tapi Eza tidak bodoh untuk tau kalau pria yang ia bangunkan agar mau mengalah dengan wanita hamil ini marah.
‘’Tapi, Mas..’’
‘’Berisik lo!’’
Suasana menjadi cukup tegang dan berakhir Eza berdeham guna menahan umpatan yang sudah berada di ujung lidahnya karena setelah itu pria berperawakan dewasa dan masih muda –kalau dilihat dari cara berpakaian- malah makin menyamankan diri. Eza yang berdiri dari keberangkatan saja tidak mengeluh, padahal mata sudah minta diistirahatkan, sedangkan pria ini? Yang baru saja naik di Stasiun Citayam sudah mengisi ruang kosong di kursi prioritas seenak jidat dan mengaku lelah.
‘’Ganti kelamin aja lu.’’ Eza bergumam namun rupanya mampu didengar segelintir orang yang memberi reaksi menahan tawa.
‘’Sebentar ya, Mbak,’’ Kali ini pemuda kebanggaan Bunda Ana mencoba peruntungan ke sisi kiri kursi prioritas berada.
‘’Maaf, Kak, ada wanita hamil ...’’ Eza berbicara lembut sama seperti sebelumnya dan sialnya kursi prioritas ini dihuni oleh satu wanita muda, ibu dan bayinya, juga seorang kakek yang sudah sangat renta.
‘Shit! Gua doain lu kena azab secret garden!’
Eza tidak banyak berharap kalau ini berhasil. Karena ini urusannya dengan wanita, mulutnya lebih sadis. Contoh saja sang bunda.
Tapi, ternyata itu tidak berlaku, karena beberapa detik setelahnya, si wanita ini berdiri dan mempersilahkan ibu hamil yang belum kedapatan kursi dan kerepotan berjalan ke tengah gerbong untuk mendapat kursi.
‘’Makasih ya Mas, Mbak..’’
Cengiran lebar hadir di wajah oriental Eza saat mendengar sekaligus melihat warna suara ibu hamil ini. Merah muda. Hehehe, indah sekali.
Bukan. Bukan dia tertarik dengan si ibu hamil. Bisa kena jotos massa dia. Eza sangat suka saat warna suara seseorang adalah merah muda, indah dan menunjukkan ketulusan.
Jadi, sepanjang jalan menuju pemberhentian terakhir, Eza menunjukkan raut sumringah.
Setidaknya setitik warna merah mudah di tengah abu-abu cukup memberi dampak besar baginya.