NotesWhat is notes.io?

Notes brand slogan

Notes - notes.io

Malam ini, sang rembulan tampak samar-samar, tak mau menunjukkan wujudnya dengan utuh. Tertutupi oleh kumpulan awan yang mengelilingi dan menghalau sinarnya. Membuat para penghuni bumi malas memandang langit lantaran tak dapat menikmati keindahan si satelit alami dari planet ketiga di galaksi.

Seorang gadis tengah duduk di atas sebuah kursi halte panjang yang terletak beberapa ratus meter dari bangunan yang menjadi pelindung dari teriknya panas matahari dan dinginnya air hujan atau butiran salju. Bangunan kecil yang menjadi tempat tinggalnya.

Sebenarnya malam itu, sang hawa hendak pergi ke supermarket untuk membeli beberapa makanan dan minuman ringan. Namun begitu ia mendaratkan pinggulnya di kursi halte, rencananya tersebut justru mendadak lenyap dari benak.

Gadis bersurai hitam legam itu menekan tombol kunci ponselnya. Bukan, ia tidak akan memainkan benda canggih berbentuk persegi panjang itu, ia hanya mengecek pukul berapa sekarang.

Sebuah bus berhenti di halte yang Eunsa tempati. Beberapa orang dewasaㅡyang tampaknya baru pulang bekerjaㅡturun dari bus tersebut. Kemudian ia melihat beberapa orang yang sebelumnya duduk bersamanya di kursi halte berdiri, lalu masuk ke dalam bus. Hanya satu orang yang tetap pada posisinya. Ya, siapa lagi jika bukan dara yang menyandang nama Yeom Eunsa itu?

Setelah perginya bus, Eunsa memandang lurus ke depan. Memfokuskan indera pengelihatannya ke arah jalan raya yang masih ramai akan kendaraan dan manusia. Ya, inilah alasan mengapa ibukota Korea Selatan ini dapat memiliki julukan 'Kota yang Tak Pernah Mati'. Karena bahkan di malam hari pun, penduduknya masih banyak yang belum kembali ke rumah masing-masing. Mungkin sebagian besar adalah wisatawan asing yang sedang melakukan 'travelling', namun tetap saja, 'kan?

Eunsa beranjak dari posisinya. Menegakkan tubuhnya dan menumpukan keseimbangan menggunakan kedua tungkai kembarnya; berdiri. Sang dara melempar pandang ke arah kanan dan memutar tubuhnya. Lantas mulai melangkahkan kaki perlahan-lahan. Ia melangkah bukan untuk kembali ke rumah, ia justru berjalan asal tanpa tahu ke arah mana kakinya mengarah.

Saat ini jam di ponsel Eunsa telah menunjukkan angka 8. Ia sudah berada di luar rumah selama lebih dari setengah jam. Namun, otaknya masih enggan memberikan perintah pada kedua suku untuk melangkah pulang.

"Ah, sial!"

Kaki kanan gadis itu menendang sebuah kaleng kosong bekas yang ada di trotar jalan. Mengapa moodnya tiba-tiba menjadi sangat buruk?

Tepat di sebuah persimpangan jalan, Eunsa menghentikan langkahnya begitu melihat lampu lalu lintas untuk pejalan kaki berwarna merah, yang di mana itu berarti giliran untuk para pengendara kendaraan bermotor melanjutkan perjalanan mereka yang sempat terhenti. Eunsa menatap kosong ke arah depan, memperhatikan kendaraan-kendaraan beroda yang berjalan, padahal hal itu sama sekali tak menarik untuk dipandang.

Tiba-tiba sebuah benda putih jatuh di atas jas yang dikenakannya. Disusul dengan benda yang serupa namun kali ini jatuh di atas kepalanya, menyentuh rambut dan kulit kepala. Dingin.

Tungguㅡ

Dingin?

Eunsa mendongakkan kepalanya. Memperhatikan langit yang tampaknya mulai mengirimkan butiran-butiran salju pada bumi. Ehㅡsalju?

"Iniㅡsalju pertama...?"

Gadis bermarga Yeom itu menengadahkan kuasa kanannya. Membiarkan sebutir salju jatuh dan menyentuh kulit telapak tangannya. Merasakan dingin yang merasuk ke pori-pori. Hingga mungkin saja hawa dingin itu menusuk tulang ruas jari-jari tangannya.

Sebuah garis lengkung terbentuk dari bilah bibir Eunsa. Ya, dia mengulas sebuah senyum. Entah itu senyum bahagia atau senyum haru, namun senyumnya itu justru tampak menyedihkan. Salju telah membuat gadisㅡyang dikenal sebagai seseorang yang paling ceriaㅡitu menjadi seperti orang yang menyedihkan.

"Salju pertama yang kurayakan seorang diri," rentetan kata tersebut terdengar begitu memilukan. Kau pasti sudah bisa menebak apa yang dirasakan gadis itu, bukan?

Sekelebat memori mulai terputar tanpa perintah. Membuat Eunsa memejamkan kedua matanya, lantas segera menggelengkan kepalanya cepat. "Sial," umpatnya. Mengapa dari jutaan memori yang ia rekam, justru hal 'itu' yang tayang secara otomatis. Ingin rasanya ia memukul kepalanya sendiri pada tiang lampu lalu lintas yang berada tak jauh dari posisinya berdiri saat ini.

[ Flashback: On ]

Siapakah orang yang paling kau cinta seperti saudara sendiri namun dulunya adalah orang asing? Orang yang tiba-tiba masuk ke 'scene' kehidupanmu dan langsung mengambil peran penting di sana?

Sahabat, benar?

Ya, itu jugalah yang sempat terpikirkan di benak seorang dara penyandang marga Yeom kala dirinya berusia 17 tahun.

Saat itu sang dara baru saja merayakan kelulusannya dari sekolah menengah pertama dan hendak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Sebelumnya ia telah berjanji dengan seseorang untuk pergi ke sekolah yang sama.

Keesokan harinya setelah graduation day, ...

"Jihoon-ah! Jiㅡ"

Kalimatnya terpotong saat netra mendapati sebuah mobil besar tengah mengangkuti barang-barang dari rumah sahabatnya, Park Jihoon. Tanpa pikir panjang, gadis itu segera berlari masuk ke dalam rumah, mencari keberadaan sang adam. Berusaha menemukan pemuda yang telah bersahabat dengannya sejak hari pertama di masa SMP-nya.

"Ahjussi,ㅡ"

"Eunsa."

Bahkan sebelum Eunsa sempat mengatakan apapun, pria paruh baya yang kini telah mencapai usia kepala empat itu sudah menyela kalimatnya. "Kamu harus pulang ya," ujar Jaehyuk ahjussi. Sontak kata-kata yang diterimanya itu membuat Eunsa menggelengkan kepalanya cepat. Dan tentu saja, ekspresi sang dara yang seolah melukis sebuah 'tanda tanya besar' di sana membuat Jaehyuk segera melanjutkan kalimatnya, "Jihoon sudah berangkat ke Ulsan tadi malam. Ahjussi meminta maaf atas nama Jihoon karena tidak sempat pamit, ya."

" ... "

Butuh beberapa waktu untuk Eunsa mencerna satu per satu kata yang dilontarkan padanya, sebelum sesaat kemudian kedua netranya mulai berkaca. Tapi, ... mengapa? Mengapa tiba-tiba? Dan, mengapa tak pamit padanya?

"Tapi ahjussi, Jihoon dan aku sudah berjanji akan melanjutkan sekolah di SMA Daeyoung bersama," papar Eunsa. Melihat kepolosan si gadis Yeom, pria bertajuk Park Jaehyuk itu merasa sedih sekaligus kasihan. Jaehyuk tahu betul jika Eunsa dan anaknya memang sangat dekat. Namun, harus dikata apa? Jihoon sudah tidak lagi berada di Jeonju.

"Aku tau, Eunsa-ya. Tapi, Jihoon benar-benar sudah tak berada di Jeonju lagi. Ahㅡ" kalimat sang pria Park terhenti, disusul dengan tangan kanannya yang menyodorkan sebuah amplop pada Eunsa. "Ini surat dari Jihoon, bacalah," ucap Jaehyuk lembut, berusaha tidak membuat gadis muda itu semakin sedih.

Eunsa terdiam. Dengan takut-takut ia mengulurkan tangannya untuk menerima amplop yang disodorkan oleh ayah dari sahabatnya tersebut. Lantas memutuskan untuk pamit pulang sebelum tangisnya pecah di sini. Eunsa tidak suka menangis di hadapan orang. Terlihat lemah dan menyedihkan.

Setelah mengucapkan terima kasih dan menitipkan salam pada Jihoon, Eunsa segera berlari meninggalkan pekarangan rumah keluarga Park. Entah ke mana kaki membawa, ia sudah tak dapat berpikir jernih lagi.

Eunsa mendudukkan dirinya di atas sebuah kursi taman, di mana tempat itu adalah tempat dirinya dan sang sahabat, Jihoon, dulu sering mereka kunjungi. Entah untuk piknik bersama, bermain bersama, atau membuat boneka salju bersama di musim dingin.

Mungkin karena cuaca sore hari yang memang sedang dingin-dinginnya atau karena Eunsa yang sedang berusaha menahan tangisnya agar tidak pecah, kedua kuasanya bergetar kala membuka amplop yang Park Ahjussi katakan berisik sebuah surat untuknya dari Jihoon. Buru-buru gadis itu membuka amplop, mengambil selembar kertas yang ada di dalamnya, dan mulai membaca kata per kata yang tertulis di sana.

Setelah membaca isi surat itu, tangis Eunsa pecah begitu saja. Ia masih belum menerima kenyataan jika ia tidak akan pergi ke SMA Daeyoung bersama Jihoon seperti apa yang telah mereka janjikan bersama.

Sejak saat itu, Eunsa menjadi lebih sedikit tertutup. Ia juga mulai sulit menganggap seseorang sebagai 'sahabat' entah sedekat apapun mereka. Tapi ia masih menganggap Park Jihoon adalah sahabatnya. Satu-satunya orang yang berperan sebagai sahabat si pemeran utama di dalam 'scene' kehidupannya.

[ Flashback: Off ]

Setelah mengulang kembali memori buruk perihal sahabatnya, Eunsa memutuskan untuk kembali ke rumah. Hari semakin larut, lebih baik ia pulang dan tidur guna mengistirahatkan tubuh setelah beraktifitas seharian, bukan?

Dengan langkah berat sang dara memasuki area rumahnya. Ia menghela napas berat. Punggungnya pun terasa berat bak ditimpa sebuah batu besar. Namun bilah bibirnya masih berusaha mengulum senyum.

"Aku merindukanmu, Park Jihoon."

* * *

Siang itu sang baskara sepertinya tengah bahagia. Memancarkan sinarnya tanpa terhalang oleh setitik awan pun. Memberikan asupan vitamin D untuk kulit para makhluk hidup yang menapakkan kaki mereka di atas tanah Korea.

Eunsa sedang sibuk berada di dapur cafe untuk melanjutkan pekerjaannya setelah ia selesai makan siang. Namun baru saja sang dara hendak menumpahkan minyak goreng ke penggorengan, seorang pegawai menghampirinya lalu mengatakan jika ada seseorang yang mencarinya.

Si tunggal Yeom menganggukkan kepalanya lalu dan berterima kasih, lantas beranjak keluar dari dapur untuk menemui seseorang yang mencarinya. Pandangannya langsung menangkap bayangan seorang pemuda yang tengah duduk di salah satu meja.

Eunsa menghampiri pemuda itu, dan ...

"Park ... JiㅡHoon?"

Bibir dan lidah Eunsa terasa kelu saat mengucapkan nama itu. Netranya seolah tak mengedip karena benar-benar asyik memperhatikan seorang pemuda yang akhirnya mendongakkan kepalanya. Tampak jelas kedua sudut bibir lelaki itu tertarik ke atas, menyimpulkan sebuah senyuman manis dan membuat kedua matanya menyipit.

Pemuda yang menyandang 'Jihoon' sebagai namanya itu beranjak dari posisinya. Secara otomatis kepala Eunsa bergerak mengikuti gerakan sang adam dan berakhir dengan mendongak karena memang postur tubuh Jihoon yang jangkung.

"Hehe, annyeong, Eunsa-ya."

Suara itu. Suara itu.

Suara Jihoon menyapa indera pendengarannya. Membuat sang gadis Yeom terpaku karena melihat tingkah lucu sang lawan bicara.

Jihoon seolah mengusap mata sebelah kanannya. Di mana sejauh yang Eunsa ingat, itu adalah pertanda saat teman kecilnya ini merasa gugup atau canggujg.

Sial.

"Kau ... benar Jihoon, 'kan?"

Eunsa masih belumㅡralat, tidak percaya. Bagaimana bisa tiba-tiba teman kecilnya ini datang mengunjunginya?

"Tentu saja," jawab Jihoon dengan gerakan mendekat ke arah Eunsa. Bertingkah seolah ingin memeluknya untuk melepaskan kerinduan yang terpendam.

Dara penyandang marga Yeom itu menjauhkan dirinya spontan. Pikirannya masih belum bisa berpikir jernih. Ia juga takut jika ada efek samping kalau pemuda yang berhadapan dengannya itu benar-benar memeluknya.

Netra Eunsa mulai sibuk menjelajahi paras dan postur tubuh Jihoon. Kalau tidak salah, dulu ia masih dapat menatap lurus wajah sang adam, tapi mengapa kini ia perlu mendongakkan kepala untuk melihat wajah tampan milik teman kecilnya itu? Sepertinya Jihoon benar-benar tumbuh dengan baik. Bahkan sangat baik.

Belum selesai dengan tinggi badan, Eunsa memperhatikan setiap inchi wajah Jihoon. Double eye-lid, mata sayu, hidung mancung, dan bibir tipis milik sahabat kecilnya itu masih sama. Sama seperti dulu saat terakhir kali mereka bertemu.

"Kau kurusan, ya." Bisik sang hawa dengan kedua matanya yang masih sibuk menjelajahi paras seorang Park Jihoon.

"Hey, aku tahu aku tampan. Kau sampai terpesona begini?" Jihoon mencoba menyadarkan Eunsa. Lantas tangan kirinya menarik pergelangan kanan sang dara untuk duduk bersamanya.

Oh, masih sama juga.

Sifatnya.

Kepercayaan dirinya dan tingkah layaknya seorang anak kecil. Masih sama.

"Eunsa-ya, sebenarnya aku menemuimu karena akuㅡ"

"Mengapa? Mengapa dulu kau tak mengatakan sepatah katapun sebelum pergi?"

Belum selesai Jihoon menyampaikan maksud dan tujuannya, Eunsa sudah memotongnya terlebih dahulu. Tatapan kosong diberikan dara itu pada sang lawan bicara. Setelah mengucapkan pertanyaan yang samaㅡseperti beberapa tahun silam, bibir gadis itu mengatup. Menunggu jawaban atas tanda tanya besar yang memiliki ruang tersendiri di otaknya selama beberapa tahun ini.

Jihoon sedikit tersentak kala inderanya mendengar pertanyaan yang dilontarkan Eunsa padanya. Tatapan kosong dari gadis itupun membuatnya semakin merasa bersalah. Karena tak berani menatap mata teman kecilnya tersebut, pemuda bermarga Park itu menundukkan kepalanya. Menatap ke arah lantai cafe.

"Maaf, maaf, maaf." Jihoon mengulang kata-kata itu sebanyak tiga kali. Ia benar-benar merasa bersalah. Kedua tangannya menggenggam tangan kanan Eunsa erat-erat.

"ㅋㅋㅋ," suara kekehan bersumber dari dara asli kelahiran Jeonju itu. Lantas membuat Jihoon segera mendongakkan kepalanya karena bingung.

"Duh, maaf Hoonnie. Aku tidak tahu kau masih akan bertingkah seperti ini. Kau lucu sekali," ujar Eunsa dengan senyuman yang setiap terpatri di wajahnya kala mengucapkan kata demi kata.

"Jujur, waktu itu aku benar-benar marah padamu. Benar-benar membencimu. Bahkan aku sempat berjanji tidak akan pernah melihat wajahmu lagi," dara yang memiliki gelar Yeom Eunsa itu mulai bercerita. Dari awal hingga akhir. Apa yang ia rasakan selama ini.

Eunsa menggelengkan kepalanya perlahan begitu dirinya telah sampai di klimaks dari ceritanya, "tapi ternyata semua perasaan jelek itu hilang beberapa menit yang lalu. Tenang saja, aku sudah memaafkanmu."

"Benarkah?" Kedua mata Jihoon berbinar setelah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Eunsa. Lantas gadis itu menganggukkan kepalanya cepat untuk meyakinkan sang adam.

"Aigoo, memang sih tidak ada yang tegaan dengan lelaki tampan sepertiku," Jihoon kembali menunjukkan kepercayaan dirinya. Membuat gadis yang menjadi lawan bicaranya bergidik geli.

Pemuda bermarga Park itu mencubit kedua pipi Eunsa gemas, "kenapa bergidik seperti itu? Memangnya aku hantu, hah?"

"Iya, wle!" Balas sang hawa seraya menjulurkan lidahnya. Bermaksud meledek.

Kedua cucu Adam itu masih sama. Bertingkah layaknya anak kecil walaupun kini keduanya telah beranjak dewasa.
     
 
what is notes.io
 

Notes.io is a web-based application for taking notes. You can take your notes and share with others people. If you like taking long notes, notes.io is designed for you. To date, over 8,000,000,000 notes created and continuing...

With notes.io;

  • * You can take a note from anywhere and any device with internet connection.
  • * You can share the notes in social platforms (YouTube, Facebook, Twitter, instagram etc.).
  • * You can quickly share your contents without website, blog and e-mail.
  • * You don't need to create any Account to share a note. As you wish you can use quick, easy and best shortened notes with sms, websites, e-mail, or messaging services (WhatsApp, iMessage, Telegram, Signal).
  • * Notes.io has fabulous infrastructure design for a short link and allows you to share the note as an easy and understandable link.

Fast: Notes.io is built for speed and performance. You can take a notes quickly and browse your archive.

Easy: Notes.io doesn’t require installation. Just write and share note!

Short: Notes.io’s url just 8 character. You’ll get shorten link of your note when you want to share. (Ex: notes.io/q )

Free: Notes.io works for 12 years and has been free since the day it was started.


You immediately create your first note and start sharing with the ones you wish. If you want to contact us, you can use the following communication channels;


Email: [email protected]

Twitter: http://twitter.com/notesio

Instagram: http://instagram.com/notes.io

Facebook: http://facebook.com/notesio



Regards;
Notes.io Team

     
 
Shortened Note Link
 
 
Looding Image
 
     
 
Long File
 
 

For written notes was greater than 18KB Unable to shorten.

To be smaller than 18KB, please organize your notes, or sign in.